Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

24 January 2012

Ibarat Lautan Tawar

CERPEN
oleh: Ghomy




Langit mencekam mendung, mendekap erat dingin. Malam mulai bercerita, dengan gelap, sunyi, serta sepi. Entah kemana perginya bintang membiarkan malam serasa menyeramkan. Sedang bulan hanya sesekali mengintip dari balik kemendungan, lalu kembali menghilang urung menampakan. Detik terus bergulir menunjuk waktu, hingga kini menjelang datangnya fajar. Namun bukan terpejamnya mata, melainkan keresahan yang kian carut-marut tak terkendali. Melayang, menyusuri jejak yang telah menjadi lalu.

Menghampiri setiap sudutnya, berharap dapat menemukan secercah senyuman dari kisah yang telah tertoreh sebelum kini, yang hanya menjadi hal untuk dikenang. Entahlah, bahkan esok bersamaan fajar, aku harus mampu membawa raga menuju salah satu hal yang menuntutku. Lalu, kembali menyibukan dengan tanggung jawab yang saling tumpang tindih. Bagaimana tidak, tanggung jawab itu hadir dengan berbagai wajah yang berbeda. Aku bahkan tidak mengenali satu sama lain.

Denting dawai yang begitu sederhana terdengar samar diujung peribadatan, ingin rasanya bangkit menuju kesana. Namun fikiran seolah menghamba pada hal lain, secuil memang. Tapi begitu mendominasi dalam kecamukan akal. Diam membungkam, membisu dalam hening, tiada kata yang terlahir. Hanya kepulan nikotin yang menyapa, menyambut diamku dengan berjuta resiko kematian, tepatnya begitu kata dokter. Dan diluar sana, tarian air mulai gemercik menghantam kaca jendela, bernyanyi selayaknya sedang merayakan kemenangan. Dengan bangga mencumbu bunga-bunga taman yang memabukan pandanngan.

Namun aku masih terduduk disudut keheningan ruangan, tidak begitu besar memang, tapi juga tak layak jika dikatakan sempit. Serasa hidup diantara lipatan kertas fiksi yang kusut, lusuh, bahkan sangat kotor. Semua bernoda, terlalu banyak bintik hitam, hingga tak pantas lagi itu dikatakan bintik noda. Begitu sulit ku temukan ruang kosong untuk memulai kisah baru, meskipun ada tapi tak memungkinkan dapat terselesaikan. Mimpi-mimpi itu telah hilang tertelan kekusutan gaya hidup yang menjengkelkan.

Sayangnya, aku tergolong terlambat menyadari, dan kini hanya menoreh sesal yang terus mengikuti langkah. Terlalu lunglai buatku berlari, teramat lemah buatku sekedar berjalan tertatih. Diam, itulah pilihan yang selalu ada dan nyata.Sekali bergerak hanya sekedar berusaha mencipta senyum dalam kepura-puraan, munafik. Yach, aku merasa hidup diantara itu semua, penuh kebohongan.

Hujan mulai terlihat loyo dalam menari, terlihat tak sesemangat saat tadi, berlahan goyangannya mengecil dan akhirnya berhenti. Menyisakan biasan yang menghasilkan warna merona, bersamaan fajar menunjukan diri dari balik pegunungan disebelah timur. Ku paksakan beranjak dari duduk, bangkit melangkah sekedar membasahi dahi, lalu kembali membakar tembakau dengan teman coffe, alunan syair ‘ebiet’ turut membumbui pagi ini. Begitu lembut, menawan, dan sederhana. Yach, aku terbuai dalam baringan.

Namun tak cukup lama aku dapat menikmati itu, deretan tuntutan telah mengintai. Hal itulah yang membuatku kaget dan segera bangkit kembali, menuju balkon samping melanjutkan resah. “apa aku bukan salah satu yang Kau sayangi??” entah atas dasar apa gumam tanya itu ada dalam sudut hati.

Kecarut-marutan semakin memuncak, saat ku lihat garasi depan terbuka. Dan disusul seseorang masuk dengan langkah pasti, yah itu ibuku. Entah lah dari mana dan apa aktivitasnya diluar rumah, sudah terlalu dewasa untuk menerima teguran dari seorang aku. Tak lama setelah ibu memasuki rumah, ku dengar satu kali lagi bunyi pintu garasi yang kembali terbuka. Kali ini ayah yang menyusul pulang.

Bukan aku senang, justru semakin merasa was-was, dan menyesal saat ini aku berada dirumah. Sebab kebiasaan telah memberikan sebuah pemahaman terhadapku, bahwa akan ada sesuatu yang tidak mengenakan. Sebuah reflek dari kecarut-marutan, tangan merogoh-rogoh kantong mencari sibiang penyakit. Ku nyalakan, lalu terkepul asap yang menggumpal tidak berturan. Namun kali ini rasanya sedikit aneh, tidak ada kenikmatan seperti biasanya, hambar, tak tertera kenikmatan.

Tanpa menunggu semua berubah menjadi abu, akhirnya ku buang itu kegenteng sebelah dari diriku yang terduduk bersandar pada tiang samping. Fikiran terus berusaha menelaah apapun yang mampu digapai, segala hal yang sanggup menemukan jawab atas resah. Namun sayang, semua masih nihil. Dan aku kembali terduduk dipojok ranjang, tersungkur dan lunglai. Dan akhirnya terlelap kembali dalam keresahan carut-marutnya hidup.

Entah berapa lama aku tertidur, dan terbangun saat ku dengar sedikit keributan di depan kamar. Dengan malas, dan bahkan mata yang masih terpejam kupaksakan bangun.

Lagi-lagi mereka yang sedang berdebat mencari benar, kembali ku masuk dan ku banting pintu. Kemudian bersembunyi dibalik selimut, ku tutup telinga dengan bantal, dan berharap aku mampu kembali tertidur. Tanpa harus mengetahui sebuah pertengkaran yang seharusnya tak terjadi dalam sebuah keluarga. Kebosananku memuncak, dalam kondisi yang tak kunjung membaik. Saat mata ku terbuka, ternyata hari sudah senja. Ku putuskan untuk keluar kama. Dan tak ku dapati seorang pun dirumah, hanya secuil kertas sobekan tergeletak dimeja makan.

za, sudah ibu siapkan makan malam untukmu
ibu kerja dulu. jangan lupa belajar.
o ya, uang saku mu nanti ditransfer sama ayah.


ttd
ibu


Secuil kertas yang satunya tak ku baca. Hanya terlihat dibawahnya tertera 'ayah'.
Jika dalam keluarga merupakan miniatur kenikmatan surga, justru ku dapati ada isyarat neraka yang menyayat. Selayaknya lautan tawar, hambar.

0 komentar:

Post a Comment