Fenomena tahun ajaran baru dalam dunia kampus/perguruan tinggi yang paling familiar adalah OSPEK atau yang sekarang biasa di sebut OPAK. Apapun namanya, kegiatan tersebut merupakan serangkaian ritual panjang yang seolah menjadi wajib di lakukan oleh mahasiswa baru.
Terlepas dari konteks tersebut, jika dilihat dari skala mayoritas mahasiswa baru merupakan objek yang mau tidak mau akan melalui masa transisi yaitu dari masa SMA menuju Mahasiswa. Disinilah point dimana keberadaan OSPEK seringkali disebut-sebut menjadi penting. Artinya, secara sederhana OSPEK bukan hanya sebatas serangkaian ritual bodoh yang hanya akan selesai tanpa hasil apapun. Terlebih lagi kegiatan-kegiatan serupa yang justru menjadi ajang sok para senior (kekerasan dalam OSPEK misalnya).
Dalam era demokrasi (katanya sih) ini, tentu saja segala sesuatu yang berbau kekerasan fisik harusnya sudah lenyap bersama angin lalu. Sudah sepantasnya adu argumen yang dikedepankan, keilmuan serta rasionalitas yang benar-benar dapat diterima oleh akal dan pikiran.
Salah satu gerbang penyambutan terhadap mahasiswa baru memanglah OSPEK, artinya melalui kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadikan stimulus pemahaman, biarpun hanya sedikit. Selebihnya tentu saja, warung kopi dan diskusi-diskusi.
SMA tentu saja masih "siswa", namun ketika memasuki dunia kampus/Perguruan Tinggi sudah beralih menjadi "Maha-siswa". Sebuah julukan yang harusnya selalu menjadi perenungan panjang oleh setiap pelakunya, tentang apa dan bagaimana harusnya mahasiswa itu bersikap.
Disini negri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur tuan…
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur tuan…
Dinegri permai ini
Berjuta Rakyat bersimbah rugah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja…
Mereka dirampas haknya Tergusur dan
lapar bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat…
Mereka dirampas haknya Tergusur dan
lapar bunda relakan darah juang kami
pada mu kami berjanji…
Bait-bait diatas bukanlah sebuah puisi, melainkan sebuah lagu perjuangan yang berjudul "Darah Juang". Sebuah lagu yang kerap kali menggema diantara teriknya mentari, di bawah panji-panji perlawanan kaum-kaum yang terpinggirkan. Dan bukan hanya sebatas lagu abal-abal, setiap abjad yang menyusunnya adalah keterwakilan keringat buruh, jerih payah petani, suara-suara kaum miskin kota, nelayan, serta suara semua manusia yang hatinya bergetar ketika melihat penindasan.
Dan sekarang, lagu yang sakral tersebut banyak menggema dalam ritual OSPEK. Semoga memang bukan hanya sebatas menjadi trend, melainkan menjadi sebuah pembicaraan semesta yang dapat didengar dan rasakan oleh setiap manusia dari kita yang peduli.
Dinegri permai ini
Berjuta Rakyat bersimbah rugah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja…
0 komentar:
Post a Comment