CERPEN
oleh: Ghomy
Dalam kehidupan ini, memang sangat komplit dengan berbagai macam permasalahan. Jalan yang berliku, terjal, bahkan berlubang. Sebab itu lah manusia punya Tuhan, tempat terakhir mengadu, tempat dimana kekuatan terbesar itu ada. Di sana lah seluruh harapan manusia berpusat, terutama dalam kehidupan selanjutnya.
Setidaknya begitu lah para ustadz memberi tausiah pada jama’ah tiap kali ada pengajian.
Selain itu, juga yang menjadi landasan manusia mengenal mimpi tentang keindahan yang abadi. Pada Tuhan.
Namun karena adanya dimensi ruang yang berbeda, sangat tidak mungkin ketika logika manusia mampu bersanding dengan logika Tuhan. Dan karena keterbatasan itu lah yang hingga kini menjadikan manusia itu sendiri berpotensi lalai, kelewat sombong bahkan melupakan. Sesekali kembali saat asa itu menggantung di jidat, atau saat keterpurukan menyapa manusia dan menembus jantung. Semoga mendapat ampun untuk keimanan yang lebih baik.
Beberapa tahun silam, saat aku baru saja menembus dinding rahim seorang ibu. Ayah memperkenalkan ku dengan Tuhan, lewat bisik pada telinga kanan ia melafadzkan kalimah Tuhan, sekarang ku fahami kalimah itu ‘adzan’.
Sejak saat itu aku selalu di tuntun dan di bimbing oleh ayah dan ibu, mengajariku kalimat-kalimat baik, membimbingku etika hidup yang beradab. Lewat kasih sayang mereka, Rahmat Tuhan itu ada. Hingga kini saat usia mulai menyapa ku dengan angka yang cukup matang untuk dikatakan dewasa tanpa bosan mereka masih saja membimbingku dengan penuh ketelatenan.
Sementara kehidupan yang terus melaju, tanpa waktu menunggu kesiapan dari ku. Aku sudah memasuki fase kesekian dari tahapan pertumbuhan, dewasa.
Dalam duduk ku yang tak menentu, alam menyuguhkan senja yang mulai memunculkan tanda-tanda jingganya. Sebagai menu wajib saat sore, lebih tepatnya ketika mendung tidak memberangusnya dengan sadis. Itu ada dalam nyata, sebagai pesan keindahan yang memanjakan pandang.
Ku sadari sekarang, dan benar. Aku telah membangun jarak dengan Tuhan, lewat tabir-tabir dosa yang memabukan. Lewat celah-celah keinginan yang berhasrat. Cukup sulit untuk bangun, berbenah lalu bertanya, kenapa?? Sungguh tragis bukan, aku yang melaju tenang dalam trotoar dosa.
“jika suda begini, apa yang akan kau perbuat??”
“sesal??”
“Sudah tak berarti lagi hal semcam itu, sesal justru akan membawamu pada arus asa. Tidak mungkin sesal akan mempertemukan mu dengan jalan keluar”
Kalimat-kalimat itu menggelegar dalam ruangan, menggema, besar, dan menusuk jiwa dalam dada. Belum terhenti debar jantung yang hampir lepas, kalimat semacam itu menyapa kembali.
“hei, kau bangun lah. Kemasi sesal mu itu, dan rumuskan kembali komitmen mu dengan Tuhan, jaga dan lakukan lah”
Nafas ku semakin sesak, serasa dada ini tertimpa batu besar. Hampir tak mampu bernafas. Dan ruangan kembali pengap, sepi, tak ada tanda-tanda siapapun. Hanya beberapa kecoa yang saling berlarian, mengkin satu diantara mereka ada betina yang sedang bunting. Suara-suara tadi sirna sudah, bersama semilir angin yang monoton.
Sementara nafas ku yang masih ngos-ngosan, dan akal yang tak mampu bekerja secara logis. Nurani ku berbisik,
Tuhan punya banyak jalan untuk membangunkan hambanya dari kubangan dosa. Karena Tuhan mempunyai hak dan kehendak atas apa yang terjadi pada hambanya.
Aku menggigil disudut ruangan, menangis sendu penuh sesal. Ketakutan itu menyapa dengan dahsyatnya tanpa kompromi. Ku kais apapun yang mampu ku gapai, ku pegang erat penuh tenaga.
Dan aku terperanjat kaget luar biasa, keringat yang berkuran begitu derasnya dari kening, nafas yang tersengal-sengal tak teratur membuat ku kesulitan mengucap sepatah kata sekalipun. Dalam kebisuan ku, air mata sesal menjawabnya.
Dan aku terperanjat kaget luar biasa, keringat yang berkuran begitu derasnya dari kening, nafas yang tersengal-sengal tak teratur membuat ku kesulitan mengucap sepatah kata sekalipun. Dalam kebisuan ku, air mata sesal menjawabnya.
Masih dalam kuasa air mata, akhirnya ku dapati kembali kewarasanku. Setelah berusaha mati-matian mengembalikannya. Dalam kenyataan yang fana, dalam kesadaran yang terbangun, setelah tertidur pada 17.15 tadi.
Ku pangkas nalar ku sejenak, mencoba mengkaji apa yang barusan terjadi. Dengan kondisi yang masih bertanya-tanya tak mengerti, dan ku dapati aku baru saja bermimpi.
Dan kini tangis itu ada
dan kini tangis itu nyata tercipta
atas ulah serta polah ku sendiri
Membuat kubangan sesal meluas
atas sikap seorang pendosa.
Ku pangkas nalar ku sejenak, mencoba mengkaji apa yang barusan terjadi. Dengan kondisi yang masih bertanya-tanya tak mengerti, dan ku dapati aku baru saja bermimpi.
Dan kini tangis itu ada
dan kini tangis itu nyata tercipta
atas ulah serta polah ku sendiri
Membuat kubangan sesal meluas
atas sikap seorang pendosa.
0 komentar:
Post a Comment