Aku seolah terlibat bersama patung-patung bernyawa. Tertunduk rapat dalam kursi dan ruangan penuh kebohongan.
Manusia-manusia yang seolah berfikir keras, sejatinya hanya dilanda perasaan bingung. Entahlah, kebingungan atas dasar apa.
Mungkin tentang mitos kaum intelek, atau mungkin hanya sampah-sampah bangsa yang saat ini bersembunyi dibalik identitas semu.
Sementara itu, seonggok daging terbalut kulit mulus dan bakaian bagus berdiri tegap didepan sana.
Berkhotbah tentang kebenaran katanya, entah atau hanya pembenaran semata.
Yang pasti, tiap ucapannya membingkai sebuah suratan kebenaran dewa yang tak bisa disanggah apalagi dibantah.
Aku, kembali dipaksa menunduk tak melawan
dipaksa diam, dibungkam dengan slide-slide tak bertuan.
Tubuh seolah diikat oleh rantai berkarat yang dicat ulang. Semua hanya ilusi kebohongan yang mengekor pada binatang tak bermoral, birokrasi namanya.
Lamat-lamat, aku mulai mengenal kebencian tak bertepi.
Tentang stagnansi polemik pemahaman abstrak. Sebab, hingga kini aku bahkan tak mengerti pada keberadaanku disini.
Dalam ruangan penuh kebohongan bersama patung-patung bernyawa.
Dulu, dulu sekali pernah ku dengar kalimat yang menggelegar diantara langit-langit sebuah bangsa. Tentang upaya juga cita dalam mencerdaskan generasi muda.
Namun, itu dulu. Dulu sekali. Kalimat yang kini hanya dikenal melalui dongengan-dongengan klasik kepahlawanan masa silam.
Karena kenyataannya, aku justru terjerumus diantara patung-patung bernyawa ganda.
Sales-sales manusia dan ijazah juga gelar. Semuanya hanya produk prematur yang dipaksa berlari tanpa tongkat dan bimbingan.
Ilusi kebenaran, adalah sebuah mitos yang terbingkai oleh kalimat mencerdaskan.
Manusia-manusia yang seolah berfikir keras, sejatinya hanya dilanda perasaan bingung. Entahlah, kebingungan atas dasar apa.
Mungkin tentang mitos kaum intelek, atau mungkin hanya sampah-sampah bangsa yang saat ini bersembunyi dibalik identitas semu.
Sementara itu, seonggok daging terbalut kulit mulus dan bakaian bagus berdiri tegap didepan sana.
Berkhotbah tentang kebenaran katanya, entah atau hanya pembenaran semata.
Yang pasti, tiap ucapannya membingkai sebuah suratan kebenaran dewa yang tak bisa disanggah apalagi dibantah.
Aku, kembali dipaksa menunduk tak melawan
dipaksa diam, dibungkam dengan slide-slide tak bertuan.
Tubuh seolah diikat oleh rantai berkarat yang dicat ulang. Semua hanya ilusi kebohongan yang mengekor pada binatang tak bermoral, birokrasi namanya.
Lamat-lamat, aku mulai mengenal kebencian tak bertepi.
Tentang stagnansi polemik pemahaman abstrak. Sebab, hingga kini aku bahkan tak mengerti pada keberadaanku disini.
Dalam ruangan penuh kebohongan bersama patung-patung bernyawa.
Dulu, dulu sekali pernah ku dengar kalimat yang menggelegar diantara langit-langit sebuah bangsa. Tentang upaya juga cita dalam mencerdaskan generasi muda.
Namun, itu dulu. Dulu sekali. Kalimat yang kini hanya dikenal melalui dongengan-dongengan klasik kepahlawanan masa silam.
Karena kenyataannya, aku justru terjerumus diantara patung-patung bernyawa ganda.
Sales-sales manusia dan ijazah juga gelar. Semuanya hanya produk prematur yang dipaksa berlari tanpa tongkat dan bimbingan.
Ilusi kebenaran, adalah sebuah mitos yang terbingkai oleh kalimat mencerdaskan.
0 komentar:
Post a Comment