Aku mencoba mencari-cari abjadku yang nampaknya terlupa. Selalu, aku berharap dapat menyusun dan menyelesaikan puisiku yang entah berjudul dan bertajuk apa. Bahkan akan ku mulai dari mana aku tak tahu, yang ku tahu hanyalah aku ingin menulis puisi. Aku ingin mampu menyusun abjadku yang dulu-dulu selalu mencuat kepermukaan kertas.
Malam ini, ku tahu ada resepsi perkawinan langit dengan kemendungan. Bintang-bintang yang seharusnya menjadi pengiring justru menghilang. Begitu juga rembulan, turut beringsut dalam persembunyian jubah bayi sebelum mendewasa terbingkai purnama. Lantas, apa sesungguhnya puisi yang sedang ingin ku tulis??sungguh aku tak tahu.
Samar-samar semesta berdendang tentang lagu subuh, menyeru fajar akan datangnya pagi. Ternyata benar, bahkan kopiku hanya tinggal ampas, batang-batang rokok telah mengabu punah. Hanya sisa asap yang menggumpal kacau tanpa arah. Coba ku kais abu rokok dan ampas kopi yang tergeletak lesu dalam cangkir serta ujung kursi rotan, berlahan menyusunnya menjadi gundukan runcing yang tak tajam.
Lalau, ku obrak-abrik asbak, berharap dapat menemukan putung sisa para sarajana sehabis rapat. Sayang, nampaknya krisis juga turut melanda mereka. Lihatlah, asbak begitu bersih tanpa abu dan putung.
Diam-diam aku melamun, menembus dimensi ruang yang jauh disana tiada berujung. Mendapati mawar saling kuncup lalu mekar, mendapati taman lingkaran bertumbuh rerumputan rapih. Elok, saat mata beradu pandang dengan tatapan capung yang menunggu penantian. Kumbang tak ada, kupu-kupu pun tak terlihat. Entah dimana mereka mengadu resah segala gundah.
Lama, kembali ku kais abjad-abjad yang menggelantung pada atap jerami. Namun, tak kunjung juga dapat ku susun apalagi ku eja fasih.
Not-not irama angin telah beradu dedaunan ketapang, embun juga mulai menuju pucuk bebatangan dahan pisang. Namun sunyi semakin bernafsu menelanjangi gelap malam, kian brutal membanting pintu-pintu semesta untuk masuknya kunang-kunang.
Tiba-tiba, mataku tertutup rapih. Terang hilang menjelma petang, kondisi melemah menahan perjumpaan tak bertuan. Berlahan, dapat ku eja susunan abjad yang mengapung diantara bayang penyanggah langit. Tertera jelas dan terbaca fasih, "aku merindu".
Samar-samar semesta berdendang tentang lagu subuh, menyeru fajar akan datangnya pagi. Ternyata benar, bahkan kopiku hanya tinggal ampas, batang-batang rokok telah mengabu punah. Hanya sisa asap yang menggumpal kacau tanpa arah. Coba ku kais abu rokok dan ampas kopi yang tergeletak lesu dalam cangkir serta ujung kursi rotan, berlahan menyusunnya menjadi gundukan runcing yang tak tajam.
Lalau, ku obrak-abrik asbak, berharap dapat menemukan putung sisa para sarajana sehabis rapat. Sayang, nampaknya krisis juga turut melanda mereka. Lihatlah, asbak begitu bersih tanpa abu dan putung.
Diam-diam aku melamun, menembus dimensi ruang yang jauh disana tiada berujung. Mendapati mawar saling kuncup lalu mekar, mendapati taman lingkaran bertumbuh rerumputan rapih. Elok, saat mata beradu pandang dengan tatapan capung yang menunggu penantian. Kumbang tak ada, kupu-kupu pun tak terlihat. Entah dimana mereka mengadu resah segala gundah.
Lama, kembali ku kais abjad-abjad yang menggelantung pada atap jerami. Namun, tak kunjung juga dapat ku susun apalagi ku eja fasih.
Not-not irama angin telah beradu dedaunan ketapang, embun juga mulai menuju pucuk bebatangan dahan pisang. Namun sunyi semakin bernafsu menelanjangi gelap malam, kian brutal membanting pintu-pintu semesta untuk masuknya kunang-kunang.
Tiba-tiba, mataku tertutup rapih. Terang hilang menjelma petang, kondisi melemah menahan perjumpaan tak bertuan. Berlahan, dapat ku eja susunan abjad yang mengapung diantara bayang penyanggah langit. Tertera jelas dan terbaca fasih, "aku merindu".
0 komentar:
Post a Comment