Struktur
politik Orde baru dibangun dengan mengedepankan stabilitas politik untuk
pembangunan. Partisipasi dikontrol dengan begitu ketat, Media massa
dikendalikan, kebebasan berfikir dibatasi, organisasi masyarakat dibentuk dalam
bentuk korporatisme Negara, bahkan sikap diskriminasi diformalkan Negara dalam
bentuk hokum-hukum positif.
Alat
represi Orde Baru memainkan peran sangat massif dalam upaya pembungkaman suara
kritis. Berani melawan berarti mati, atau hilang tanpa ada kejelasan dimana
rimbanya. Berangkat dari kepentingan Rezim Orde Baru dalam pembangunan, alat
represif ini diproduksi guna mempertahankan stabilitas politik. Meskipun dengan
adanya hal tersebut sejatinya berdampak pada pelanggaran hak sipil dan politik.
Bahkan
dalam tataran ekstrimnya, pelanggaran tersebut bukan hanya menyinggung hak
sipil dan politik. Melainkan juga hak ekonomi, social dan budaya. Kita sangat
tahu kasus Kedungombo (Jawa Tengah), Kotapanjang dan juga Freeport (Timika)
menjadi contoh pelanggaran di wilayah tersebut.
Orde
Baru (1968 – 1998) pada hakikatnya berdiri diatas tumpukan tumpukan korban
jiwa. Dalam tragedi 1965-1968 korban tewas lebih dari 500.000, dan ribuan orang
diasingkan ke pulau buru.
Bahkan
praktek pelanggaran HAM pada saat it uterus berlanjut. Pada 12 September 1984
kasus tanjung priok meletus, kemudian operasi militer di Aceh dan papua pada
tahun 1989, disusul dengan kasus waduk nipah pada 25 September 1993.
Rentetan
peristiwa pelanggaran iru terus bergulir pada masa Orde Baru. Dan peristiwa
pada 27 Juli 1996 telah memicu berbagai kekerasan Negara. Namun disisi lain,
hal itu justru merupakan awal kebangkitan perlawanan rakyat kepada rezim
Soeharto. Jelas kebangkitan tersebut merupakan sebuah hama yang bagi rezim saat
itu harus diberantas. Melalui alat represifnya, militer gencar melakukan
operasi diberbagai daerah. Hal tersebut tidak lain sebagai bentuk upaya
Soeharto mempertahankan kekuasaannya.
Namun
bukan mereda, sebaliknya perlawanan terus meningkat diberbagai daerah. Dan
puncak kemarahan rakyat terjadi pada 1998. Kerusuhan social terjadi diberbagai
daerah di Tanah Air, Solo, Medan, Jakarta, dll. Akibat pergolakan ini, memaksa
Soeharto harus mengakhiri kekuasannya pada 20 Mei 1998. Dan kita kenal dengan
Reformasi.
Namun,
setelah Indonesia merangkak meraih kebebasan dalam jubah Demokrasi. Kali ini
justru kembali tersandung dan seolah justru memberikan sinyal akan kemunculan
kembali Rezim Orde Baru. Pasalnya dalam bebera pecan terakhir, gonjang-ganjing
pembahasan RUU KAMNAS dan RUU Ormas terus berlanjut. Sementara dalam beberapa
pasal yang diatur di RUU tersebut sejatinya merupakan salah satu bentuk lain
Orde Baru.
Atau
dalam kata lain, melalui RUU ini kebebasan akan kembali dikebiri, pembatasan
berserikat, singkatnya apparatus Negara memiliki wewenang menyiduk atau
menangkap atnpa harus melalui proses hokum. Sementara dalam UUD ’45 jelas
menyebutkan dan mengatur bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum.
Jika
pada akhirnya nanti kedua RUU ini berhasil goal menjadi UU, maka jelas KOMNAS
HAM harus memperbanyak personil. Pasalnya akan menjadi sebuah keniscayaan
melalui UU tersebut, Negara kita akan mengalami peningkatan terhadap kasus
pelanggaran HAM. Selamat bungkam kalau begitu.
0 komentar:
Post a Comment