Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

12 April 2013

Orde Baru: Ada Ratusan Pelanggaran HAM


Struktur politik Orde baru dibangun dengan mengedepankan stabilitas politik untuk pembangunan. Partisipasi dikontrol dengan begitu ketat, Media massa dikendalikan, kebebasan berfikir dibatasi, organisasi masyarakat dibentuk dalam bentuk korporatisme Negara, bahkan sikap diskriminasi diformalkan Negara dalam bentuk hokum-hukum positif.

Alat represi Orde Baru memainkan peran sangat massif dalam upaya pembungkaman suara kritis. Berani melawan berarti mati, atau hilang tanpa ada kejelasan dimana rimbanya. Berangkat dari kepentingan Rezim Orde Baru dalam pembangunan, alat represif ini diproduksi guna mempertahankan stabilitas politik. Meskipun dengan adanya hal tersebut sejatinya berdampak pada pelanggaran hak sipil dan politik.

Bahkan dalam tataran ekstrimnya, pelanggaran tersebut bukan hanya menyinggung hak sipil dan politik. Melainkan juga hak ekonomi, social dan budaya. Kita sangat tahu kasus Kedungombo (Jawa Tengah), Kotapanjang dan juga Freeport (Timika) menjadi contoh pelanggaran di wilayah tersebut.

Orde Baru (1968 – 1998) pada hakikatnya berdiri diatas tumpukan tumpukan korban jiwa. Dalam tragedi 1965-1968 korban tewas lebih dari 500.000, dan ribuan orang diasingkan ke pulau buru.
Bahkan praktek pelanggaran HAM pada saat it uterus berlanjut. Pada 12 September 1984 kasus tanjung priok meletus, kemudian operasi militer di Aceh dan papua pada tahun 1989, disusul dengan kasus waduk nipah pada 25 September 1993.

Rentetan peristiwa pelanggaran iru terus bergulir pada masa Orde Baru. Dan peristiwa pada 27 Juli 1996 telah memicu berbagai kekerasan Negara. Namun disisi lain, hal itu justru merupakan awal kebangkitan perlawanan rakyat kepada rezim Soeharto. Jelas kebangkitan tersebut merupakan sebuah hama yang bagi rezim saat itu harus diberantas. Melalui alat represifnya, militer gencar melakukan operasi diberbagai daerah. Hal tersebut tidak lain sebagai bentuk upaya Soeharto mempertahankan kekuasaannya.

Namun bukan mereda, sebaliknya perlawanan terus meningkat diberbagai daerah. Dan puncak kemarahan rakyat terjadi pada 1998. Kerusuhan social terjadi diberbagai daerah di Tanah Air, Solo, Medan, Jakarta, dll. Akibat pergolakan ini, memaksa Soeharto harus mengakhiri kekuasannya pada 20 Mei 1998. Dan kita kenal dengan Reformasi.




Namun, setelah Indonesia merangkak meraih kebebasan dalam jubah Demokrasi. Kali ini justru kembali tersandung dan seolah justru memberikan sinyal akan kemunculan kembali Rezim Orde Baru. Pasalnya dalam bebera pecan terakhir, gonjang-ganjing pembahasan RUU KAMNAS dan RUU Ormas terus berlanjut. Sementara dalam beberapa pasal yang diatur di RUU tersebut sejatinya merupakan salah satu bentuk lain Orde Baru.

Atau dalam kata lain, melalui RUU ini kebebasan akan kembali dikebiri, pembatasan berserikat, singkatnya apparatus Negara memiliki wewenang menyiduk atau menangkap atnpa harus melalui proses hokum. Sementara dalam UUD ’45 jelas menyebutkan dan mengatur bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum.
Jika pada akhirnya nanti kedua RUU ini berhasil goal menjadi UU, maka jelas KOMNAS HAM harus memperbanyak personil. Pasalnya akan menjadi sebuah keniscayaan melalui UU tersebut, Negara kita akan mengalami peningkatan terhadap kasus pelanggaran HAM. Selamat bungkam kalau begitu.

0 komentar:

Post a Comment