Hidup
engan, namun matipun tak mau. Mungkin itu potret umum sebagian besar subsektor
pertanian kita.
Sesuai
julukan
yang nampaknya terlalu akrab dengan telinga kita, Indonesia sang
Agraris yang subur serta makmur. Sebuah julukan yang cukup pantas dan
layak khususnya dalam kancah pertanian, tercatat pertanian kita sempat
menjadi primadona dalam kemajuan perekonomian, pasalnya sektor ini
tercatat pernah menyumbang
hingga 70% lebih dari produk domestik bruto dan penciptaan lapangan
kerja.
Namun,
akibat kesemrawutan yang terjadi serta kurangnya perhatian pemerintah di sektor ini, atau
tidak adanya visi jangka panjang pembangunan ekonomi di Negara ini membuat
sektor pertanian ini justru semakin terpuruk. Dan peran pertanian dalam ranah pembangunan ekonomi
tak lain hanya sebagai pelengkap dari sektor lainnya.
Sementara
dalam satu dekade lebih terakhir, sebagian besar subsektor pertanian,
pekebunan, peternakan, dan perikanan mengalami kemerosotan kinerja yang
signifikan. Dan dalam kondisi ekstrimnya petani mengalami pemiskinan secara
dramastis. Ironisnya lagi, angka ketergantungan pada impor pangan dan produk
pertanian lain justrumengalami peningkatan tajam.
Seorang
pakar hortikultura Indonesia menceritakan bagaimana ia pernah diundang ke Vietnam
sekitar pada tahun 1980 dan 1990an untuk mengajar para peneliti Vietnam atau
mengajar peneliti Thailand yang datang ke Indonesia pada kisaran tahun 1992 soal tanaman
hias. Kini, kedua Negara tersebut sudah menyalip “sang Guru” jauh didepan sana.
Pada
abad ke-19, Indonesia merupakan eksportir gula terbesar kedua dunia setelah
kuba, kini keadaan justru berbalik tragis. Indonesia malah menjadi importir terbesar kedua
dunia. Tidak hanya itu, beras yang dulu swasembada kini harus impor. Hal serupa
juga terjadi pada produk pangan lain, seperti: jagung dan kedelai, juga produk
hortikultura seperti buah-buahan dan tanaman hias.
Dulu
kita bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri, sekarang semua serba import.
Peningkatan angka import di Indonesia, bukan hanya meliputi permintaan restaurant
atau hotel yang meningkat, melainkan memasuki ranah rumah tangga. Hal ini mengikuti dengan
peningkatan supermarket yang ada diindonesia, yang setiap tahunya terus mengalami perluasan
dan peningkatan dibergai daerah. Artinya dengan keadaan demikian secara kajian,
juga merupakan penyebab budaya konsumtif. Masyarakat secara tidak sadar telah
dinina bobokan oleh keadaan ini, yang berakibat pada peningkatan rasa malas
untuk menggali potensi. Segala sesuatu ingin di dapat dengan cara instan. Tentu
hal ini cukup berbahaya, sebab banyak kalangan menyebutkan bahwa hal ini
sejatinya merupakan sebuah bentuk penjajahan secara halus. Yakni melalui
penanaman/merubah cara berfikir dari pekerja keras menjadi malas dan konsumtif.
Selain
itu, petani (khususnya petani penggarap) semakin hari juga kian terpojokan. Hal
ini diprakarsai oleh banyaknya kasus sengketa lahan pertanian. Dengan kata
lain, para petani penggarap semakin hari semakin banyak yang kehilangan
pekerjaan. Sebab, mereka hanya mengandalkan tanah sewa/atau tanah milik
tuannya. Dalam kajian ekonomi, tentu hal ini merupakan sebuah pemiskinan
besar-besaran.
Singkatnya,
jaminan
kemakmuran rakyat (dalam hal ini petani) semakin merosot tajam.
Sementara
tanah/lahan pertanian mereka terus saja mengalami perampasan dengan
dalih
berbagai hal. Sementara dalam tingkatan persidangan sengketa, sering
kali para petanilah yang pada akhirnya harus merelakan tanahnya. Sebab
gencarnya isu Hukum di Negara kita tentang ketumpulannya ke atas dan
ketajamannya ke arah bawah nampaknya di amini oleh fakta lapangan.
Lantas, apakah si Agraris hanya sebuah mitos belaka? tentu sang Ibu
Pertiwi akan meraung dalam tangisnya yang parau. Jika faktanya kekayaan
alam di Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Siapa
mereka? adalah yang berkuasa dan pemodal asing.
Dan
ironisnya lagi, pemerintah pusat seolah enggan melihat hal ini. Mereka
justru asyik saling berkolaborasi antar partai, saling bersorak atas
kemenangan partainya. Sibuk dengan menimbun berbagai hal dalam perutnya
yang kian hari kian besar.
0 komentar:
Post a Comment