Pengantar Penulis
Asia sudah bangun!
Lambat laun bangsa-bangsa Asia
yang terkungkung itu tentu akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi
tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bilamana dan dimana bendera
kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang menyelidiki sedalam-dalamnya
perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan dapat menunjukkan halkah rantai
yang selemah-lemahnya dalam rentengan rantai panjang yang mengikat perbudakan
Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng
imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Imperialisme Belanda lebih tua
dan lebih kuno dari pada imperialisme Inggris dan Amerika, dipisahkan oleh satu
lembah yang tak dapat diseberangi dari jajahannya. Negeri Belanda, karena tidak
mempunyai bahan-bahan untuk industrinya, dari dahulu hanya mengusahakan pertanian
dan perdagangan. Penjabaran kapitalnya dari
permulaan abad ini ke seluruh Indonesia sangat luasnya.
Pusat industri Belanda sekarang
terletak di Indonesia, sedang pusat perdagangan dan keuangannya ada di negeri
Belanda. Bankir, industrialis dan saudagar tinggal di negeri Belanda, sedang
buruh dan tani di Indonesia. Jika kita perhatikan kedua lautan yang memisahkan
Belanda dengan Indonesia itu, serta tidak pula kita lupakan perbedaan bangsa,
agama, bahasa, adat-istiadat antara penjajah dan si terjajah, antara pemeras
dan si terperas, tampaklah kepada kita satu perbandingan dari pergaulan yang
luar biasa di dunia imperialisme waktu sekarang. Luar biasa, sebab kaum modal
bumiputra tak ada. Jadi, titian antara negeri Belanda dengan Indonesia putus
sama sekali.
Ketiadaan kaum modal bumiputra
yang sifatnya hampir bersamaan dengan imperialisme Belanda (samasama mau
menggencet buruh dan tani) menyebabkan imperialisme Belanda sukar sekali
membereskan krisis ekonomi di Indonesia. Dimanakah ada di Indonesia tuan-tuan
tanah bumiputra seperti di Mesir, India dan Filipina yang dapat menunjang kaum
imperialisme untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi mereka? Dan dimanakah
ada kaum modal bumiputra yang kuat, yang meminta-minta kekuasaan dalam politik
perekonomian‑nya seperti di India?
Tuan-tuan tanah Indonesia yang
sedikit berarti telah lama menjadi gembala, kuli atau kuli tinta! Bangsa-bangsa
Eropa, Tionghoa dan dan Arab menguasai semua perdagangan besar, menengah
ataupun kecil! Bangsa Indonesia yang menengah atau yang kecil telah lenyap
dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun yang silam oleh pemasukan barang-barang
pabrik dari Eropa.
Soal perguruan dengan sengaja dilengahkan
oleh Belanda, kaum intelektual jadi kurang. Sebab itu, kendatipun kaum
saudagar bumiputra seperti India, mau menyokong mereka mendirikan industri,
toh tidak akan berhasil.
Sebab ketiadaan kaum modal tuan
tanah bumiputra itu, maka setiap aksi parlementer dari partai nasional mana
pun tidak berguna.
Bagaimanakah "bapak
gula" dan "nenek minyak" di negeri Belanda akan dapat memberikan
hak pemilihan umum kepada bangsa Indonesia? Atau dengan lain arti:
mempercayakan kekuasaan politik kepada wakil-wakil tani dan buruh yang miskin?
Jika sekiranya di belakang kaum intelektual, berdiri tuan-tuan tanah dan kaum
modal bumiputra yang akan mereka wakili di parlemen, tentulah akan berlainan
keadaan itu. Dan cakap angin tentang "perubahan dalam pemerintahan di
Indonesia" ada juga artinya sedikit. Imperialis Belanda berangsur-angsur,
lambat laun dapat menyerahkan pemerintahan itu kepada bangsa Indonesia yang
cakap dan jujur. Bukankah melindungi modal bumiputra, sebagian juga berarti
melindungi modal bangsa asing? Di dalam nisbah sekarang ini nyatalah bahwa
flap pemerintahan bangsa Indonesia haruslah tunduk kepada kemauan modal asing
yang besar-besar. Dan pemerintahan seperti itu tak akan diakui sebagai berasal
dari rakyat dan oleh rakyat!
Pendeknya, Indonesia tak
mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat melepaskan
diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkungan imperialisme
Belanda. Bersamaan dengan itu, kans untuk mencapai kemerdekaan dalam arti yang
seluas-luasnya dengan jalan menguasai setengah, tiga perempat, hingga tujuh
per delapan parlemen lenyap buat selamanya. Impian seorang makhluk seperti
Notosuroto yang mengangan-angankan Nederlandia Raja akan tetap jadi lamunan
orang yang fasik.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya
jika kekuasaan politik ada di tangan rakyat. Dan Indonesia akan mendapat
kekuasaan politik tidak dengan jalan apa pun, kecuali dengan aksi politik yang
revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.
Dewan Rakyat kadang-kadang boleh
dimasuki! Tetapi bukan dipergunakan sebagai senjata yang sah untuk memperoleh
pemerintahan nasional yang bertanggung jawab penuh dengan perantaraan Dewan
Rakyat bekerja sama dengan imperialis Belanda. Tetapi guna mengembangkan usaha
revolusioner hingga ke dalam kamar-kamar diperoleh dengan perantaraan aksi-aksi
parlementer samalah dengan seseorang di Gurun Sahara yang membum fatamorgana.
Tetapi siapa yang mempergunakan sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang
teratur, niscaya memperoleh kemenangan itu seumpama "ayam pulang ke
kandangnya".
Soal kemerdekaan Indonesia
bukanlah satu soal yang terbatas di Indonesia saja, yang dapat dipecahkan
dengan perantaraan kongres dan putusan-putusan yang lembek di Dewan Rakyat,
jangan dikata lagi dengan perantaraan kelakar-kelakar ekonomi dan kebudayaan di
warung kopi. Soal itu mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan kekuasaan
Barat terhadap bangsa berwarna di benua Timur.
Salah satu sebab — dan ini bukan
sebab yang terkecil — mengapa Amerika tidak juga memberikan kemerdekaan yang
seluas-luasnya kepada orang Indonesia Utara (Filipina) yang menurut perkataan
kawan ataupun lawannya telah lama matang (seperti kata surat-surat kabar imperialisme
Amerika di Manila) adalah bahwa kemerdekaan Filipina berarti satu pemberontakan
dan penyembelihan di Asia melawan kekuasaan kulit putih (a general revolt in
Asiatic countries against white authority, uprising being attended by
slaughter). Kelepasan Indonesia (pusat arti ilmu bumi dan peperangan Asia,
penduduk lima kali lebih besar dari Filipina dan dengan perdagangan internasional)
mustahil tidak berarti sebagai satu pistol yang ditujukan kepada kekuasaan
Barat terutama Inggris di Asia.
Belum lama ini bekas putra
mahkota Wilhelm menerangkan kepada seorang wakil dari United Press di Locarno
yang diumumkan oleh radio ke seluruh dunia, bahwa bila manusia yang
berjuta-juta di Asia pada satu hari bergerak memukul Anglosakson (Inggris,
Prancis dan Belanda) niscaya bangsa Melayulah yang pertama kali akan
menyebabkan kesusahan. Pengharapan imperialistis dan sindiran macam apakah yang
dimaksud putra mahkota yang senewen itu, bagi kita tetap nyata: bahwa Indonesia
sekarang bukan Indonesia pada beberapa tahun yang lalu. Indonesia telah
mengambil tempat yang penting dalam barisan berjuta-juta manusia di Asia.
Karena itu, kemenangan yang
diperoleh dengan jalan damai dan parlementer sama sekali tak boleh dipikirkan.
Bukankah hal serupa itu tepat mengganggu ketentraman kapitalis di Timur? Bila
suatu hari Indonesia terlepas dan mempertahankan kemerdekaannya dari
musuh-musuh dalam dan luar negeri, tentulah hal tersebut ditentukan oleh kodrat
revolusioner, yakni yang disebabkan oleh aksi massa: dari massa dan untuk
massa.
Kalau penjajahan Belanda selama
300 tahun itu tidak berupa perampokan (membunuh habis industri bumiputra)
niscaya derajat kaum intelektual kita jauh berbeda dari keadaan sekarang! Dan
kita tentulah mempunyai semangat kecerdasan (inteligensia) yang menurut asal,
didikan dan perasaan menjadi pemuka dari tuan-tuan tanah, industri, saudagar
dan pegawai bumiputra. Pun juga akan timbul pergerakan demokrasi dan
kemerdekaan nasional yang bersifat kerja sama (kompromis) dengan bangsa Belanda
atas pertolongan buruh dan tani seperti di India, Mesir dan Filipina lebih
kurang.
Atas ketiadaan kaum modal
bumiputra, intelegensia kita tak kuat berdiri. Ia melayang-layang di antara
rakyat dengan pemerintah. Ia tidak mempunyai perasaan ingin mengorbankan diri
seperti yang ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri lain. Ia tidak mempunyai
alat-alat perasaan, pemikiran yang mendekatkan dirinya kepada massa (rakyat
murba). Disebabkan imperialis, kaum intelektual kita jauh dari massa.
Mereka tidak mempunyai satu
kesaktian yang dapat mempengaruhi dan menarik hati rakyat. Kaum intelektual
kita tidak beroleh kepercayaan dan simpati massa untuk menggerakkan mereka,
membuat aksi-aksi serta memimpin mereka. Tambahan lagi, sebab jumlah kaum
terpelajar yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas mereka dan
belum menjadi buruh terpelajar.
Untuk sementara waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh. Lain halnya kalau jumlah mereka banyak, tentulah mereka akan luntang-lantung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh industri dengan penuh "kegembiraan" dalam medan perjuangan.
Untuk sementara waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh. Lain halnya kalau jumlah mereka banyak, tentulah mereka akan luntang-lantung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh industri dengan penuh "kegembiraan" dalam medan perjuangan.
Kecepatan timbulnya kelas intelektual,
kekecewaan terhadap Budi Utomo (B.U.) dan National Indische Party (N.I.P.)
serta kekejaman reaksi, mencakar pemandangan mereka ke jurusan yang lain.
Sungguhpun masih sangat lambat dan masih berdiri beberapa pal (1 pal = 1.5
kilometer) jauhnya dari massa serta dalam keaktifan dan politik terjejer
sangat jauh di belakang dibandingkan dengan kelas mereka di lain koloni,
tetapi mereka telah mulai bangun dari tidur. "Jubah malaikat" dari
Notosoeroto telah dilemparkan mereka, dan mulai bersetuju kepada aksi-aksi
revolusioner. Sekarang dari beberapa universitas di negeri Belanda yang jauh
itu berdengung-dengung suara mereka hingga kedengaran oleh kaum intelektual
yang ada di Indonesia.
Tetapi harapan buruh dan tani di
Indonesia tidak cuma persetujuan hati saja dari intelektual itu. Mereka
menghendaki perbuatan atau bukti-bukti.
Selama kaum terpelajar kita
melihat bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama
itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka
melangkah keluar dari kamar belajar menyeburkan diri ke dalam politik
revolusioner yang aktif.
Gelombang pemogokan, pemboikotan
dan demonstrasi yang beralun-alun setiap hari bertambah besar, melalui rapat
nasional menuju ke Federasi Republik Indonesia, inilah jalan mereka, tidak
lain!
Tan Malaka
0 komentar:
Post a Comment