Ilustrasi |
Dalam sebuah ranjang berkelambu putih, Gotong masih tergeletak lemas. Dalam benaknya masih
menyimpan jutaan tanya bahkan masih tak percaya. Bahwa ia akan benar-benar
dipisahkan dengan saudaranya, Royong. Dia kembali mengingat, saat mereka berdua
didatangi oleh sosok yang mengatasnamakan pembangunan. Manis, semua yang
dikemukakan seolah manis. “aku datang, datang pada kalian berdua dengan tujuan
mempererat hubungan kalian” ucapnya dengan nada penuh keyakinan. “kami sudah
terlalu dekat, bahkan kami merasa kami adalah satu” ucap Gotong bersamaan
dengan Royong.
Namun, entah dengan mantra apa sosok itu terus saja komat-kamit tak menentu. Sosok yang mengatasnamakan pembangunan mulutnya berbusa-busa, suaranya berapi-api,
bahkan semesta kala itu seolah turut yakin kalau mereka harus dipisahkan.
Rerumputan, bambu-bambu, sengon, ayam, cicak, tak terkecuali manusia seolah
mengamini. Entah, barang kali itu efek dari mantra yang seolah tak kunjung
berhenti dilafadzkan oleh si Pembangunan. Gotong terdiam, Royong memeluknya
erat, sangat erat.
Semantara sekarang,
dibalik kelambu putih, diatas ranjang yang merupakan saksi dari kesaksian
sejarah panjang. Gotong, masih membisu tak percaya. “dimana kau, saudraku”
lirih, Gotong bergumam dalam ketahanan menahan perihnya kerinduan.
“sungguh, aku hanyalah
sampah tak berguna tanpamu” dia bergumam lagi.
“bukankah kita adalah
satu, tentulah tanpamu aku juga tak ada” dia masih bergumam. Sendiri, tak ada
siapapun disana.
“hahaa…ini adalah
keniscayaan, yah keniscayaan. Dan hanya sampai disitu, lalu selesai kemudian
tamat”
tiba-tiba dinding ikut bergumam.
Tidak-tidak, itu adalah kutukan. Tawa
itu, kalimat itu, adalah kutukan. Kutukan bagi Gotong yang terlontar dari
dinding.
“apa maksudmu” seringai
Gotong menantang.
“hahaa..ternyata kau
masih belum paham” umpat dinding.
“bagaimana aku bisa paham, sementara kau hanya mengumpat tanpa memahamkan” Gotong membela.
“kau sudah mati, kau
sudah tak ada. Semua selesai, tamat dibalik cerita pembangunan pada khalayak”
kemudian dinding kembali mengumbar tawa.
“kau sudah mati, mati.
Kau sudah tak ada, tak seorangpun menganggapmu ada. Hahaa kau sudah mati” kalimat itu terus menggelegar memenuhi seantero ruangan. Menggema,
berpantul-pantul terus dalam kutukan mengejek. Dan selalu, diakhiri dengan tawa
bahak yang menjengkelkan.
Ranjang berdecit-decit,
saat Gotong mencoba bangun dengan sisa-sisa kekuatan. Ia sangat jengkel dan
berusaha mematahkan dinding yang menurutnya tidak tahu apa-apa. Namun, setiap
kali ia berusaha bangun dan berdiri, saat itu juga ia kembali ambruk menimpa
ranjang. Tersengal-sengal dalam amarah yang tertahan tanpa ditumpahkan.
Ia
marah, ia jengkel, tapi ia juga tak mampu berbuat apa-apa selain diam dihujam
ejekan dinding yang menghunus jantung. Meskipun sebenarnya ia lebih memilih
mati, sebab baginya kematian jauh lebih membahagiakan dari pada harus sekarat
yang kunjung disapa kematian.
Keputus asaan mulai tercermin dari raut Gotong, mukanya muram tak menentu. Terlebih nasib saudaranya yang tak kunjung ia ketahui bagaimana. Ia belajar bertahan, tapi saat pembelajaran itu juga ia mengenal amarah mendendam.
Namun akhirnya Gotong tersadarkan, siapa ia sesungguhnya yang tak lain merupakan sosok keabadian kehidupan bermasyarakat. Ia merasa bahwa ia adalah simbol kerukunan yang harus tetap ada dan nyata dalam dialektika bermasyarakat. Dan Gotongpun dengan sempoyongan mencoba bangkit untuk berjuang.
ini keren. membahas gotong royong yg telah pudar dgn cara yg berbeda *kasih 2 jempol*
ReplyDeleteI like it bro :-D
ReplyDeleteWow, wow, wow, hebat bisa buat cerita seperti ini :D
ReplyDeleteterimakasih sudah neng zulfa, dan buat dua jempolnya. :D
ReplyDeletewah..bang lukman masih biasa ini bang mencoba melihat realita didekat kita.. :D salam kreatifitas bang.
ReplyDeletedan bang genfruz, tampilan blognya keren bang..terimkasih sudah mampir disini.. :D
ReplyDeletebahasanya loh salut keren ....enyong suka kiee.. tulisan
ReplyDeletewelaah...ana tamu adoh kie, kan cilacap. monggo kang dipun koreksi. :D
ReplyDeletengasih jempol aja ah (y)
ReplyDelete