Setelah kemarin aku menceritakan sebuah kisah masa kecil yang berkaitan dengan televisi, yaitu tentang media televisi, antara informasi dan pencitraan.
kali ini juga masih seputar televisi. Dimana sebuah media yang
merupakan sebuah jalur untuk mengakses informasi secara penuh dan nyata
justru sering kali menjadi alat kekuasaan semata.
Indonesia dengan kemajemukan masyarakatnya,
merupakan sebuah bangsa yang kaya akan budaya. Dimana wilayah yang
membentangkan Merah Putih dari sabang sampai Merauke ini memiliki
beragam perbedaan. Mulai dari suku,
ras, agama, budaya, hingga bahasa daerah. Tentu hal tersebut sejatinya
merupakan sebuah kekayaan yang luar biasa bagi bangsa ini.
Namun, lewat
praktik penyiaran sentralistik ke-Indonesia-an yang majemuk tersebut kerap kali
direduksi ke dalam rasionalitas dan mentalitas Jakarta atau Ibu Kota. Tak
peduli apapun latar belakang budaya, etnis, dan strata social pemirsa televisi
atau publik sesungguhnya. Masyarakat yang majemuk tersebut seolah dipaksakan
harus menerima sajian-sajian atau tontonan yang serba berkelas menengah ibu
kota.
Gosip-gosip
selebritis, perselingkuhan anggota dewan, korupsi lembaga Negara, perceraian,
hingga apapun itu yang masih dalam spektrum warna kehidupan glamor ibu kota.
Tentu, hal ini sejatinya merupakan sebuah kekerasan simbolik dalam bentuk
pemaksaan selera tanpa memperhatikan publik bangsa Indonesia yang begitu plural
dalam budaya, etnis, strata ekonomi, hingga kelas sosial.
Dalam hal ini,
secara menyeluruh dari setiap suguhan-suguhan media televisi pada dasarnya
hanya menohok pada kenaikan sebuah rating. Rating sendiri merupakan sebuah
metode untuk mengukur jumlah audience dari produk-produk media, khususnya
televisi. Rating disini menitikberatkan pada pengukuran secara kuantitatif
banyaknya pemirsa suatu program media, bukan pengukuran persepsi mereka tentang
kualitas suatu program dalam menjamin kelayakan serta produktifitas program
tersebut.
Dalam kata lain,
rating dalam hal ini sama sekali tidak memperhatikan pluralitas kebutuhan
khalayak dan minat televisi. Misalkan, dalam hal ini sinetron mendapatkan
rating tinggi atau banyak ditonton, namun tidak semua khalayak yang plural ini
membutuhkan sinetron. Sebaliknya, meskipun program informasi-informasi yang
rating atau jummlah penontonnya sedikit, bukan berarti program informasi tidak
penting bagi khalayak.
Maka, fakta yang
terjadi dalam aras masyarakat massa, rating hanya menggiring khalayak pemirsa
untuk menonton televisi sebagai hiburan semata, bukan sebagai upaya mengakses
informasi-informasi penting. Mengutip pernyataan Marcuse, teknologi tidak hanya
memikirkan yang mengadaptasi diri pada keseluruhan system, tetapi juga
melakukan identifikasi tanpa batas terhadap totalitas system. Dengan proses ini
ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah merampas kebebasan manusia secara
berlahan.
Hal inilah yang
kiranya terjadi pada industri televisi sebagai akibat determinasi rating. Penghitungan
rating tak ubahnya hukum keseluruhan yang represif dan menotalkan realitas.
Kreativitas, profesionalisme praktisi penyiaran akan tunduk pada hukum keseluruhan
tersebut.
Alhasil, tanpa
banyak disadari oleh kita acara sinetron, musik, kuis, komedi, dan infotainment
ditelevisi sebenarnya serupa tapi tak sama. Melalui proses identifikasi tanpa
batas terhadap system yang totaliter, sehingga betapa kontras perbandingannya
antara wajah televisi Indonesia yang serupa tapi tak sama tersebut dengan
pluralitas dan diversitas bangsa Indonesia.
Dengan demikian,
agaknya perlu ada pembenahan kembali terkait media penyiaran. Hal ini mengacu
pada UU informasi public yang secara hakiki merupakan hak setiap warga Negara
untuk dapat mengaksesnya. Namun, awak media (baca: televisi) justru diperparah
dengan monopoli segelintir elit. Sebagaimana diungkapkan Mahfud MD, bahwa media
merupakan salah satu pilar penting dalam Demokrasi. Maka akan menjadi hal yang
cukup ironis ketika media justru seolah diambil alih sebagai alat suatu partai
untuk melancarkan serangan-serangan kampanye, atau dengan kata lain penguasaan
media (baca: televisi) oleh segelintir elit partai saja.
0 komentar:
Post a Comment