Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

06 May 2013

Skema Media Dalam Masyarakat Plural

Setelah kemarin aku menceritakan sebuah kisah masa kecil yang berkaitan dengan televisi, yaitu tentang media televisi, antara informasi dan pencitraan. kali ini juga masih seputar televisi. Dimana sebuah media yang merupakan sebuah jalur untuk mengakses informasi secara penuh dan nyata justru sering kali menjadi alat kekuasaan semata.

Indonesia dengan kemajemukan masyarakatnya, merupakan sebuah bangsa yang kaya akan budaya. Dimana wilayah yang membentangkan Merah Putih dari sabang sampai Merauke ini memiliki beragam perbedaan. Mulai dari suku, ras, agama, budaya, hingga bahasa daerah. Tentu hal tersebut sejatinya merupakan sebuah kekayaan yang luar biasa bagi bangsa ini.



Namun, lewat praktik penyiaran sentralistik ke-Indonesia-an yang majemuk tersebut kerap kali direduksi ke dalam rasionalitas dan mentalitas Jakarta atau Ibu Kota. Tak peduli apapun latar belakang budaya, etnis, dan strata social pemirsa televisi atau publik sesungguhnya. Masyarakat yang majemuk tersebut seolah dipaksakan harus menerima sajian-sajian atau tontonan yang serba berkelas menengah ibu kota.

Gosip-gosip selebritis, perselingkuhan anggota dewan, korupsi lembaga Negara, perceraian, hingga apapun itu yang masih dalam spektrum warna kehidupan glamor ibu kota. Tentu, hal ini sejatinya merupakan sebuah kekerasan simbolik dalam bentuk pemaksaan selera tanpa memperhatikan publik bangsa Indonesia yang begitu plural dalam budaya, etnis, strata ekonomi, hingga kelas sosial.

Dalam hal ini, secara menyeluruh dari setiap suguhan-suguhan media televisi pada dasarnya hanya menohok pada kenaikan sebuah rating. Rating sendiri merupakan sebuah metode untuk mengukur jumlah audience dari produk-produk media, khususnya televisi. Rating disini menitikberatkan pada pengukuran secara kuantitatif banyaknya pemirsa suatu program media, bukan pengukuran persepsi mereka tentang kualitas suatu program dalam menjamin kelayakan serta produktifitas program tersebut.

Dalam kata lain, rating dalam hal ini sama sekali tidak memperhatikan pluralitas kebutuhan khalayak dan minat televisi. Misalkan, dalam hal ini sinetron mendapatkan rating tinggi atau banyak ditonton, namun tidak semua khalayak yang plural ini membutuhkan sinetron. Sebaliknya, meskipun program informasi-informasi yang rating atau jummlah penontonnya sedikit, bukan berarti program informasi tidak penting bagi khalayak.

Maka, fakta yang terjadi dalam aras masyarakat massa, rating hanya menggiring khalayak pemirsa untuk menonton televisi sebagai hiburan semata, bukan sebagai upaya mengakses informasi-informasi penting. Mengutip pernyataan Marcuse, teknologi tidak hanya memikirkan yang mengadaptasi diri pada keseluruhan system, tetapi juga melakukan identifikasi tanpa batas terhadap totalitas system. Dengan proses ini ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah merampas kebebasan manusia secara berlahan.

Hal inilah yang kiranya terjadi pada industri televisi sebagai akibat determinasi rating. Penghitungan rating tak ubahnya hukum keseluruhan yang represif dan menotalkan realitas. Kreativitas, profesionalisme praktisi penyiaran akan tunduk pada hukum keseluruhan tersebut.

Alhasil, tanpa banyak disadari oleh kita acara sinetron, musik, kuis, komedi, dan infotainment ditelevisi sebenarnya serupa tapi tak sama. Melalui proses identifikasi tanpa batas terhadap system yang totaliter, sehingga betapa kontras perbandingannya antara wajah televisi Indonesia yang serupa tapi tak sama tersebut dengan pluralitas dan diversitas bangsa Indonesia.

Dengan demikian, agaknya perlu ada pembenahan kembali terkait media penyiaran. Hal ini mengacu pada UU informasi public yang secara hakiki merupakan hak setiap warga Negara untuk dapat mengaksesnya. Namun, awak media (baca: televisi) justru diperparah dengan monopoli segelintir elit. Sebagaimana diungkapkan Mahfud MD, bahwa media merupakan salah satu pilar penting dalam Demokrasi. Maka akan menjadi hal yang cukup ironis ketika media justru seolah diambil alih sebagai alat suatu partai untuk melancarkan serangan-serangan kampanye, atau dengan kata lain penguasaan media (baca: televisi) oleh segelintir elit partai saja.

0 komentar:

Post a Comment