Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

05 May 2013

Media Televisi, Antara Informasi dan Pencitraan

Mudahnya mendapatkan televisi, sama sekali bukan jaminan untuk mendapatkan informasi yang hakiki.

Dulu, dulu sekali. Sekitar puluhan tahun lalu, atau lebih tepatnya ketika aku masih begitu kecil. Dikampungku, sebuah kampung kecil didaerah Jawa Tengah bagian barat. Sebuah kampung dengan aktifitas masyarakat yang umumnya menggeluti profesi petani (entah apa itu profesi atau hanya sebatas rutinitas wajib sebab tak ada pilihan lain). Kampung disebuah daerah yang konon merupakan wilayah industri dengan dialek bahasa yang seringkali dianggap lucu. Ngapak-ngapak, begitu biasa orang-orang menyebut warga Cilacap yang hingga kini justru menjadi identitas daerah pada setiap individu yang kebetulan tinggal disana.

Kala itu, ketika umurku masih sangat cukup dihitung dengan sepuluh jari saja. Setiap hari minggu pagi bersama dengan teman sebaya sudah rapih dan tentu saja mandi (rajin banget yah hee). Aktifitas minggu pagi tersebut bukan untuk pergi jalan-jalan, atau berbelanja di mall-mall seperti anak jaman sekarang (terutama dikota-kota besar). Melainkan sekedar untuk ngumpul bareng dan mantengin layar televisi tetangga (kok kayaknya tertinggal banget yah).

Sejujurnya, aku juga kurang paham apakah hal tersebut pada saat itu merupakan hal yang pas dijadikan tolak ukur tentang maju atau tertinggalnya suatu daerah. Tapi memang, pada saat itu dikampungku orang yang memiliki televisi masih sangat jarang. Mungkin hanya ada satu dalam radius seratus sampai dua ratus meter atau bahkan lebih. Karena itu jangan heran ketika pada minggu pagi aku bersama teman sebaya rela bangun pagi dan mandi. Tidak lain, hanya untuk menonton acara kesayangan kami. Tahulah acaranya apa, power ranger, doraemon, dan kartun-kartun lainnya.hee

Namun, seiring perkembangan teknologi juga perkembangan pengetahuan manusia itu sendiri. Sekarang, yang namanya televisi sudah bukan lagi menjadi barang langka. Dikampungku misalnya, televisi seolah sudah menjadi hal yang "harus ada" dalam rumah. Bahkan tidak jarang dalam satu rumah ada dua sampai tiga televisi. Jika televisi masih setia pada asasnya, yaitu sebagai media informasi publik tentu hal ini seharusnya menjadi hal yang sangat bagus. Sebab, ada yang mengatakan bahwa "information is king" informasi adalah raja.

Bayangkan jika dalam faktanya dilapangan masyarakat jauh lebih banyak menonton televisi, berarti jelas mereka sedang mengakses sebuah informasi. Namun, dari sini timbul sebuah pertanyaan. Benarkah media televisi secara faktual menyuguhkan informasi-informasi penting kepada khalayak?.

Jawabannya tidak selalu kawan, kenapa bisa begitu?.

Media, yang sering disebut-sebut sebagai salah satu pilar penting dalam asas demokrasi harus menjadi sosok yang independen. Harus benar-benar menyuguhkan informasi yang ada dalam realitas masyarakat. Bukan sebuah informasi yang bersifat abstrak dan terkesan memanipulasi berita. Pasalnya media (dalam hal ini televisi) sejauh ini semakin gencar justru bukan sebagai elemen yang independen. Melainkan menjadi sebuah perusahaan yang ironisnya justru banyak dikuasai oleh para elit.

Disinilah, kenapa media (baca: televisi) dalam idealnya harus bersifat independen. Karena ditakutkan akan banyak disalah gunakan sebagai ajang pencitraan saja. Al-hasil ruh dari media yakni sebagai media informasi masyarakat akan hilang dan beralih fungsi sebagai alat kekuasaan semata. Maka, menjadi hal yang tak kalah penting kita sebagai massa publik yang banyak disuguhi acara-acara dari televisi mampu memilah dan memilih mana yang memang sebuah kebenaran dari realitas serta mana yang pada dasarnya hanya sebuah kedok dari adanya pencitraan semata.

Dari sini, jelas ternyata banyaknya televisi dikampungku yang sudah tidak seperti saat aku kecil dulu bukan satu-satunya tolak ukur kemajuan suatu daerah. Bahkan dalam ranah negara sekalipun, jika dalam penyajian informasi bukan berkiblat pada fakta maka itulah bahayanya ketika media (baca: televisi) tidak independen.


2 comments:

  1. haha.. dadi kemutan nek gemiyen nonton tipi nang gone tanggane.. sore2 jadwale nonton baca hitam RX ndadak kudu repek disit, terima golet telung ler pang go tiket mlebu mung kepengin nonton baja hitam karo turbo nang kotak ajaib sing pas jaman semono wis pasang parabola (ceritane tanggane sugih giye..)

    ya wis tau ora mangkat ngaji bar maghrib malah umpetan nang gone tanggane guwe mau mung kepengin nonton tuyul dan mbak yul karo jin dan jun.. kwkwkwkwkkkk

    film unyil karya anak bangsa ya ora kelalen dipecicili... jan dadi ngemutna jamane esih umbelen luh.. kwkwkwkwk :D

    ReplyDelete
  2. ahahaaa...iya koh jiant..aduuhlaah yah, kira-kira siki tesih ana ora yah bocah cilik sing kaya kue?
    dolanane gobak sodor, jonjang,, ,

    :D

    ReplyDelete