Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

19 June 2013

Kenaikan harga BBM: Sebuah Kegalauan Bagi Masyarakat

Indonesia kembali di goncang sebuah polemik. Kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) telah resmi di ketok palu. Tak ubahnya pada 2008 silam, sidang paripurna berlangsung alot dan panji-panji penolakan terus berkibar di seluruh nusantara. Kerusuhan demi kerusuhan terus bergulir di kota-kota besar, teriakan terus dikawal oleh jeritan penolakan.

Mahasiswa dan buruh, dalam hal ini kembali menjadi topik perbincangan paling hangat. Cemooh, pujian, sama derasnya mengalir dari mulut masyarakat luas. Mulai dari yang heroik hingga dianggap anarkis sebagai biang kerok kerusuhan.

Dalam tulisan ini, saya hanya mencoba memaparkan beberapa fakta yang ada. Tidak hanya dari satu pihak, melainkan dari lingkaran yang melilit satu sama lain. Dengan kata lain, ada indikasi tertentu yang menjadi dasar pada sebuah peristiwa. Dan ketika berbicara politik, maka berbicara kefanaan. Sebab dalam politik tidak ada kawan maupun lawan yang bersifat abadi atau langgeng.

Inilah beberapa hal yang mesti diperhatikan serta di jadikan acuan dalam menilai sesuatu hal, khususnya ketika kita berbicara aksi demonstrasi dalam pergulatan harga BBM. Dalam hal ini setidaknya ada tiga komponen yang meliputi:

  • Pemerintah
Dalam hal ini jelas, pemerintah merupakan pengambil kebijakan serta keputusan. Meskipun secara lahiriah pemerintah di usung dari masyarakat sebagai bentuk perwakilan, namun secara faktanya hal tersebut justru menjadi bias. Pasalnya pemerintah mewakili masyarakat yang mana semakin kabur saja, alih-alih kesejahteraan kebijakan pemerintah justru kerap kali menyulut api amarah rakyat kecil. Dan yang terjadi justru ada jual beli kepentingan serta kongkalikong dengan pemodal, baik lokal maupun asing.

Fakta yang lain, pemerintah juga terkesan menyepelekan kejadian yang pada dasarnya adalah serius. Sebut saja Lumpur Lapindo, nasib, kabar, serta perkembangan masyarakat disana seolah hilang dari peredaran. Belum lagi kasus-kasus lain yang menyinggung persoalan tanah, mesuji serta lahan-lahan pertanian lainnya. Semua itu seolah hanya angin lalu yang dilupakan begitu saja.
  • Aspek Media
Lembaga yang disebut-sebut sebagai pilar terakhir penyangga demokrasi ini juga semakin kita pertanyakan ke-independenannya. Pasalnya media saat ini justru banyak dikuasai oleh oknum-oknum individu yang sejatinya memiliki peran penting dalam sebuah partai politik. Jika begitu, mungkinkah sifat inedependen pilar demokrasi tersebut masih murni ada?. Tentu sangat diragukan, sebaliknya yang terjadi adalah penggunaan media sebagai alat kempanye serta pencitraan. Dan tentu merenggut kebebasan pers dalam mengusut ataupun menayangkan sebuah berita.

Dalam hal ini, media kerapkali terlihat pilih-pilih dalam memberikan informasi kepada publik. Bukan lagi berlandaskan pada keorisinilan sebuah kontent, melainkan pada seberapa laku berita dalam ranah pasar.
  • Masyarakat
Gonjang-ganjing kerusuhan terus terlihat dalam aksi penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak Bersubsidi (BBM). Terutama di kota-kota besar Indonesia, masyarakat dari berbagai elemen terus berangsur turun jalan. Aksi penolakan yang oleh banyak kalangan justru disebut-sebut sebagai sebuah tindakan anarkis. Merusak, blokir jalan, bakar-bakar, hingga bentrok dengan aparat kepolisian.
Sementara dari kubu masa aksi, beranggapan bahwa cara-cara yang sedikit keras merupakan satu-satu jalan agar suara mereka sedikit di dengar. Meskipun sebenarnya belum tentu.
Dari ketiga komponen tersebut, kemudian muncul kegalauan-kegalauan ditingkatan masyarakat. Secara umum masyarakat sama sekali tidak menyalahkan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh elemen mahasiswa ataupun buruh. Namun dengan cacatan yang wajar atau damai, jangan mengganggu ketertiban umum.
Disinilah kegalauan itu mulai terlihat, masa yang turun ke jalan melakukan aksi penolakan kenaikan Harga BBM di tuntut agar sedikit keras. Kenapa bisa begitu?
Pertama, dengan menggunakan logika. Jika aksi penolakan yang dibarengi dengan gejolak berdarah sekalipun belum tentu tuntutan dipenuhi apalagi dengan segala kesederhanaan dan biasa-biasa saja. Lihat saja peristiwa '98 silam, Soeharto menyatakan mundur setelah desakan dari berbagai elemen tumpah dan beberapa nyawa melayang.
Kedua, sedikit analisa. Media yang dalam hal ini seharusnya terus memberikan informasi-informasi terbaru kepada masyarakat secara utuh dan jujur, ternyata sedikit bergeser. Dalam sebuah aksi masa, bagi kalangan media akan sangat tidak menarik jika aksi demonstrasi yang dilakukan biasa-biasa saja. Atau secara marketing berita, informasinya tidak menjual dan tidak menarik untuk di publis. Dari sinilah kenapa tadi diawal saya mengatakan bahwa media lebih pilih-pilih dalam mengekpos berita.
Ketiga, dari sudut kejiwaan. Pemerintah yang dalam hal ini memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan masyarakat ternyata telah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh perpolitikan pasar. Asumsi selama ini yang coba dibangun oleh pemerintah tidak lain mengacu pada untung rugi, disinilah kejiwaan pemerintah diserang melalui mekanisme pasarnya. Al-hasil, kebijakan-kebijakan yang dilakukan lebih terkesan sebuah pesanan dari pihak investor baik lokal maupun asing.
Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah kegalauan masyarakat. Mayarakat yang menolak justru kerap kali menjadi kambing hitam. Sementara dengan heroiknya, media berhasil memberikan informasi kepada publik bahwa berbagai wilayah rusuh akibat kenaikan harga BBM. Informasi tersebut kemudian diolah menjadi bahan provokasi oleh pihak birokrat bahwa aksi penolakan kenaikan harga BBM tidak lain hanya sebuah kerusuhan. Al-hasil, tuntutan masyarakat yang melakukan aksi penolakan semakin bias tujuannya. Bahkan tidak jarang justru terjebak pada konflik menyamping. Politik memang mengerikan.

4 comments:

  1. Cie cie,.... wajah baru cyberang jalan,...

    ReplyDelete
  2. diwadani template pada yagh kang,... wkwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaa iya koh..

      ana refrensi template sing apik maning ra??

      Delete