Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

13 March 2014

Menenun Pasir, Mendadak Tertuduh Purnama

Menenun Pasir, Mendadak Tertuduh Purnama


Malam itu angin seolah berseru, bersama deburan ombak yang nampak keemasan. Yah, malam itu purnama telah mengubah warna lautan menjadi perak. Tanpa mengurangi suara ombak dengan riak basah yang khas.           

Aku percaya, keberadaanku disana bersama keindahan semesta bukan tanpa alasan. Bukan pula tanpa maksud atau sebatas ketidak sengajaan. Semua melalui skenario kehidupan, melalui cerita yg berujung kisah hingga menjadi sebuah kebenaran yang harus kita akui. Selayaknya adanya alam, keberadaan kita juga tak luput dari cinta dan kebencian.

Saat itu, aku melihat raut wajahmu mulai pucat pasai dirubung kegelisahan. Samar memang, karena pancaran purnama kau hadang dengan punggungmu. Namun, jujur aku justru menikmati eksotisme panorama kejujuran yang nyata disana. Aku melihat gelagat takut dari senyummu yang kau paksakan, juga penurunan gengsi yang menjadi keharusan bagimu agar menurunkan levelnya. Aku juga tahu, itu hal yang sulit ketika dikatakan sebagai sebuah pilihan. Karena kepastian yang akan kau pangkas meski dibayar dengan ketidak pastian.


Ah, aku yakin malam itu purnama pasti menyangka akulah penjahatnya. Bukan kamu apalagi dia yang lebih punya kekuatan untuk menggenggammu. Karena ternyata aku telah menjebakmu, menjebakmu agar menemui pilihan itu. Menjebakmu agar risau gelisah menghampirimu. Karena sejujurnya, ego dalam benakku telah merasuk dalam setiap detak nadi. Sebuah ego yang dilandasi rasa cinta untuk memilikimu seutuhnya, tanpa harus berbagi dengan dia. Tanpa harus berpura-pura kalau aku baik-baik saja melihatmu bersama dia dalam ruang sebelah. Ah, aku cukup cemburu kala itu. Disaat kau bercanda ria diruang sebelah yang hanya dibatasi tembok tak seberapa.    

"Kenapa?" Tanyamu saat kau tahu kalau dia  hadir malam itu.       

"Seperti kataku pada saat malam kemarin lusa" jawabku.  

"Iya, tapi aku gak bisa" katamu lagi dengan nada bingung menyelinap diantara nafasmu yang memburu.         

Setelah itu, aku hanya diam. Dan kau pun tak kalah membisu. Kita hanya saling tatap, mata kita saling berdialog menelanjangi masing-masing pikiran, lalu menyelinap lewat aliran darah dan berakhir di sudut hati. Disana, kita kembali bertemu dan kembali mempertanyakan hal yang sama, "cintakah kau padaku?". Kalimat itu seolah menyeruak buyar, saling kejar menuntut jawaban segera pada hati kita masing-masing. Meskipun jawaban dari itu justru kembali bersifat pertanyaan, "yakinkah kau denganku?".

"Apa ini semua ada dalam pengetahuanmu?" Tanyamu masih terus menuntut.    

"Apa aku keterlaluan?" Jawabku justru kembali menyerupa tanya.

"Silahkan, kesanalah. Hampiri dia, biarkan pilihanmu menuntun jalannya" ucapku sedikit kasar.

Kau masih menunduk tertimpa risau. Pancaran purnama mendadak menuduh, nyanyian ombak tiba-tiba menjadi nada tak teratur. Aku benar-benar kehilangan senyumanmu saat itu. Auramu berubah drastis menjadi parau, meskipun aku tak mendapati air mata dipelupuk matamu.

"Baiklah, aku akan kesana" katamu hampir tak terdengar sembari beranjak.        

"Perlu aku ikut denganmu?" Aku berusaha bangkit, namun tangan dan matamu berucap 'jangan'.

Kau pun akhirnya melangkah, membiarkanku ditimpa rembulan.  

"Saat kau sudah temukan pilihan, semoga kau tak lupa jalan mencariku" kataku, yang entah apakah kau mendengarnya.          

Kau hanya terus melangkah, melangkah mencipta jejak telapak kaki diantara hamparan pasir hitam. Tidak, bukan pasir hitam. Melainkan perak, sebab purnama masih menerpa lautan malam itu.           

Aku terus melihatmu mengayunkan langkah mencipta jejakmu dalam kesaksian meninggalkanku. Hanya punggungmu, punggungmu yang terus mengucap dan menyapaku, yah hanya punggung itu. Hingga akhirnya kaupun lenyap ditelan ketelan jarak. Dan tiba-tiba, rasaku menjadi kacau. Diriku diselimuti kegelisahan tak menentu, menyesal, tak rela, semuanya seolah menjadi tatanan yang kokoh menghantam dada, sesak.

Purnama, tahukah kau? Tahukah kau tentang rasa yang menyiksa itu, rasa kian menyeruak menghalau selaput malam. Aku diam, tapi masih duduk menatapmu rembulan. Menatapnya, sesosok wanita milik lelaki lain. Yah, dia yang melangkah barusan merupakan wanita yang sebenarnya sudah terikat cinta. Sebuah rasa dan perasaan yang kerapkali melahirkan komitmen, setidaknya begitu kata para pakar hubungan. Ah, apa aku keterlaluan?

Diam-diam aku menenun pasir dalam sebuah doa, berharap sebuah cerita akan tertoreh malam itu, dilaut itu, dalam kesaksian purnama sempurna. Sejenak aku sembunyi dibalik dari terpaan purnama, cahayanya sungguh itu membuatku benar-benar merasa tertuduh. Jejak langkahmu masih sangat jelas menapak diatas hamparan pasir, disana ada harapan agar dapat menuntunmu kemari, disini dimana aku menanti seorang wanita menawarkan secawan cinta dengan penuh keyakinan.


2 comments: