Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

10 June 2014

Aku Pernah Melihatmu Disuatu Pagi







Aku pernah melihatmu disuatu pagi, kau bersajak menyanjung purnama.

Kau ini lucu, kataku
Mana ada rembulan bersanding mentari, apalagi purnama.
Tidak mungkin!!! Tuduhku

Aku pernah melihatmu disuatu pagi, kau bersyair menghujat waktu.

Kau ini lucu, masih kataku
Mana sanggup manusia selemah kau tandingi kuasa waktu.
Pasti mustahil!!! Aku masih menuduh

Aku juga pernah melihatmu disuatu pagi, tidak bersajak tidak pula bersyair.

Kau ini aneh, gumamku
Mana ada manusia bernyawa bertahan dalam bungkamnya.
Kau pasti patung!!! Sergahku






Dan suatu pagi yang lain, aku masih saja melihatmu.

Hanya saja kali ini aku tidak yakin kau berdiam. Lihatlah, mulutmu
terus saja merapal mantra. Entah mantra apa, mungkin apa saja kau
rapalkan.
Baik-buruk, cinta-benci, kasih hingga amarah. Sangat mungkin bukan?

Namun suatu pagi yang lain lagi, aku tidak melihatmu. Sama sekali tak
ada, sekelebat bayangmupun tak terlihat.

Kau dimana? Hatiku bertanya.

Beberapa pagi terus bergulir, namun aku masih tidak melihatmu.
Kau dimana? Aku mulai mencari-cari keanehanmu.
Namun tetap tidak ku temukan kau dalam pagi-pagi selanjutnya.
Kau dimana? Hatiku masihbertanya-tanya.


Melangkah dan terus melangkah, hingga tidak lagi ku dapati pagi. Tidak lagi ku dapati kau dengan keanehan-keanehanmu itu.
Aku mulai menemukan sore, senja, juga malam. Semuanya sungguh berbeda dari pagi-pagi saat dimana kau muncul dihadapanku dengan segudang keanehanmu.

Hingga, suatu sore aku menghadap pada diriku sendiri melalui bening cermin senja.
Dan seperti pada suatu pagi saat aku melihatmu, melalui cermin senja aku justru kembali menemukanmu. Persis seperti di pagi-pagi saat aku sering melihatmu.
Kau masih bergumam bersandingnya mentari dengan rembulan.
Kau masih menggerutu menghujat waktu, merapal mantra, juga masih beberapa kali terdiam bak patung. Kau masih sama dengan suatu pagi saat aku melihatmu dengan penuh kejengkelan.

Kau sungguh keras kepala!!! Kataku.
Lalu ku sergap bangku panjang, ku lemparkan padanya.
Cermin senja pecah, pipiku tergores dan berdarah.
Kemudian aku tertawa, menatapmu sinis dan berkata: “mati kau”.
Aku pernah melihatmu disuatu pagi.
Dan aku pernah membunuhmu disuatu sore, dalam cermin di depanku.
 



Akupun mulai beranjak meninggalkan pagi.

0 komentar:

Post a Comment