Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

01 October 2014

Merapal Mantra, Bukan Mendendam Hujan

Kami bukan kelelawar, namun kami biasa ada dan terjaga saat malam
tiba. Kami bukan penjudi, namun kami terbiasa melingkar dengan
diskusi-diskusi domino. Kami juga bukan pecandu, namun kami akan
melakukan apapun demi tersuguhnya kopi diantara kami. Kami juga tak
melupakan kantuk, namun kami terbiasa tanpanya ketika malam. Kami
terbiasa merapal wirid "remi" dan "ceki", kami bahkan sangat hafal
kapan kami harus bersorak untuk suatu kemenangan. Entah ada berapa
banyak lembaran kertas yang sudah kami tandai dengan angka-angka dan
nama kami. Tapi ingat, kami juga manusia bukan kelelawar. Juga bukan
penjudi dan pecandu, kami hanya penikmat dan petualang rimba waktu.

Kadang kami sadar, hanya enggan menyadari dan menyudahi. Semua begitu
nyata, kehidupan yang berangsur-angsur pulih dari pinsan barangkali.
Ah, atau lebih pas jika ku katakan sebagai sebuah training kematian.
Seperti kata pujangga, sebahagia apapun kita terhadap suatu
perjumpaan, kita tetap harus belajar tegar menghadapi perpisahan. Dua
hal tersebut seperti halnya takdir yang tidak bisa ditawar.
Menggugatnya hanya akan membuat kita tersungkur tanpa mengenal
kebangkitan.

Sudah lama, sejak lama, dan semoga memang selama-selamanya. Meskipun
kita banyak beda, tak jarang debat ini itu akibat selisih faham. Namun
lagi-lagi, kita akan berdamai dalam lingkaran satu cangkir, lalu
saling menyapa dalam sapaan kartu-kartu remi dengan kalimat "ceki".
Ah, begitu sederhanannya sebuah persekawanan itu. Kita cukup duduk
setinggi gelas kopi, lalu melaju dengan diplomasi remi dan segala
ejek. Inikah persekawanan hakiki yang banyak disebut-sebut oleh
kalangan remaja?. Bisa jadi, barangkali memang iya.

Dalam persekawanan perbedaan pasti ada dan nyata. Karena manusia
bukanlah robot yang setara dalam penyeragaman. Anggaplah sebuah
permainan remi, setiap kartu yang dipegang masing-masing berbeda. Dan
setiap pemain memiliki harapan yang sama, yaitu sebuah "kemenangan".
Namun dalam hukum permainan harus memiliki pemenang dan yang kalah.
Itulah, meskipun semua pemain berharap mendapat kartu yang mendukung
untuk menang, namun bandar tetap memberinya secara acak.

Dalam hukum permainan, dibalik sebuah kemenangan ada kekalahan dari
apa yang dimenangkan. Namun yang terpenting adalah cara main (proses),
dimana ada tantangan, butuh kecerdikan, ketelitian dan tentu saja
kejujuran. Artinya bukan pragmatis dalam sebuah kemenangan, melainkan
ada proses yang benar, yang sesuai aturan.

Ah, ternyata sudah pagi kawan. Lihatlah, malam sudah pamit sedari
tadi. Bahkan meninggalkan kopi masih setengah gelas, barangkali memang
malam juga ingin berbagi kopi dengan pagi. Indahnya berbagi dan
indahnya mengerti. Bukankah malam tidak pernah menuntut karena pagi
dianggap tergesa-gesa? Jika suatu-waktu mendung, itu hanya rambu-rambu
hadirnya hujan. Toh tidak setiap kemendungan berakhir hujan, pun tidak
selalu hujan menjadi hal yang mengerikan. Karena itu, di pagi ini mari
kita ungkapkan rasa. Mari kita rapalkan damai, dalam diri juga
jiwa-jiwa yang mengerti. Salam.

0 komentar:

Post a Comment