Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

30 April 2011

Sekilas Biografi "Gus Dur"

Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, serta tokoh ulama yang dikenal kontroversial yang akrab disapa "Gus Dur" ini lahir dijombang, jawa timur 7 september 1940 dari pasangan K.H Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil "sang penakluk" namun kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Gus Dur" "Abdurrahman Wahid". "Gus" merupakan nama panggilan has yang ditujukaan untuk anak laki-laki kyai dikalangan pesantren. untuk anak perempuan kyai biasanya akrab dengan sebutan "Ning".Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara, terlahir dari keluarga yang sangat terhormat dikalangan muslim Jawa Timur. Kakek dari Ayahnya Gus Dur, K.H Hasyim Asy'ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara Kakek dari pihak ibu, K.H Bisri Syansuri adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H Wahid Hasyim terlibat dalam gerakan nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada tahun 1949. sedamhkan ibunya, Ny. Hj. Sholehah puteri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur.
Setelah Deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Gus Dur tinggal dijombang dan menetap disana selama perang melawan Belanda. Pada akhir tahun 1949 Gus Dur pindah kejakarta, setelah Ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Ia belajar dijakarta dan masuk di Sekolah Dasar (SD) KRIS sebelum pindah ke Sekolah Dasar (SD) Mataram Perwari. Gus Dur sejak dini sudah diajarkan untuk membaca buku-buku non islam, majalah, koran, oleh ayahnya. Pada bulan April 1953, Ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Dan pada tahun 1954, Gus Dur melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP). di Sekolah Menengah Pertama Gus Dur sempat tidak naik kelas, tetapi bukan karena permasalahan intelektual, lalu ibunya mengirimnya keyogyakarta untuk meneruskan pendidikannya.
Pada tahun 1957, setelah lulus SMP Gus Dur pindah kemagelang untuk belajar dipesantren tegalrejo. Ia pun tercatat sebagai murid berbakat, dan hanya merampungkan pendidikan disana selama dua tahun, yang seharusnya selama empat tahun. Dan pada tahun 1959, Gus Dur kembali kejombang untuk melajutkan dipesantren Tambakberas dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah, dan juga sebagai wartawan majalah Horison dan Majalah Budaya Jaya.
Lalu pada tahun 1963, Gus Dur mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Azar Kairo. Namun karena kemahiran dan kekritisannya, Ia pun tak lulus. Dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Baghdad, dan akhirnya lulus pada tahun 1973, meskipun sempat hampir tidak selesai juga seperti halnya di Kairo.
Berencana meneruskan pendidikannya, Gus Dur lalu pergi ke Belanda berniat melanjutkan belajar di Universitas Leiden, namun sayang Universitas Baghdad kurang diakui disana. Dengan sedikit kecewa, akhirnya Ia memutuskan untuk pergi keJerman dan Prancis untuk melanjutkan pendidikannya sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 1971.
Setelah kembali ke Indonesia dan tinggal di Jakarta, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), merupakan Organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim dan sosial Demokrat. LP3ES mendirikan Majalah Prisma, dimana Gus Dur sebagai kontributor utamanya, ia sering berkeliling kepsantren dan madrasah diseluruh Jawa. Karena kesibukan tersebut, beliau mulai dapat melihat yang terjadi dalam dunia pesantren. Dan Gus Dur cukup merasa prihatin dengan kondisi pesantren yang semakin melunturnya nilai-nilai tradisional karena perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Melihat hal tersebut, Gus Dur akhirnya lebih memilih mengembangkan pesantren dari pada melanjutkan pendidikannya lagi di Luar Negeri.
Selain itu, Gus Dur juga mulai mengembangkan kariernya sebagai jurnalis, artikelnya banyak diterima dikalangan masyarakat umum, sehingga hal itu meningkatkan reputasinya. Tidak heran, jika saat itu Gus Dur mulai disibukan untuk mengisi kuliah-kuliah dan seminar, yang membuat ia harus rela bolak-balik jakarta jombang. Pengembangan reputasinya tersebut menjadikan ia dapat diterima baik sebagai komentator sosial. Pada tahun 1974, Gus Dur menambah pekerjaannya sebagai Guru Ngaji di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian Gus Dur juga mendapatkan kerjaan tambahan sebagai Guru Kitab Al-Hikam.
Tidak berhenti disitu, pada tahun 1977 ia juga bergabung di Universitas Hasyim Asy'ari sebagai Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti Pedagogi, Syari'at Islam, dan Misiologi.
Setelah itu, ia lalu diminta berperan aktif dalam menjalankan NU, awalnya permintaan ini ditolak sama beliau. Namun akhirnya Gus Dur menerima tawaran tersebut setelah kakeknya K.H syansuri membujuknya. Pekerjaan baru ini, membuat Gus Dur harus rela pindah dari Jombang ke Jakarta. Dan pada tahun 1982, Gus Dur mendapatkan pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif tahun itu, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan empat Partai islam, termasuk NU didalamnya.
Reformasi NU
NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur didalamnya) untuk membantu mengerjakan isu reformasi dan menghidupkan kembali NU. Pada 2 mei 1982, para pejabat tinggi NU, bertemu dengan ketua NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun pada tanggal 6 mei 1982, Gus Dur menganggap pemilihan Idham untuk mundur tidak kontitusionil, Gus Dur menghimbau agar Idham tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua NU.
Pada tahun 1983, Soeharto kembali dipilih sebagai presiden, untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Sementara itu Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini, semenjak Juni-Oktober 1983. Gus Dur lalu menyimpulkan NU untuk menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara, dan untuk menghidupkan kembali NU, ia mengundurkan diri dari PPP dan Partai politik, agar NU lebih fokus terhadap masalah sosial.
Pada musyawarah nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU, hal ini diterimanya dengan syarat dapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja dibawahnya. Terpilihnya Gus Dur sebagai ketua PBNU, dilihat positif oleh Soeharto. Terlebih lagi penerimaannya terhadap Pancasila sebagai Ideologi Negara dan bersamaan citra moderatnya membuat Gus Dur disukai oleh pemerintah. Pada tahun 1987 ia mempertahankan dukungannya terhadap rezim tersebut, denngan mengkritik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilihan umum legislatif, dan memperkuat Partai Golkar.
Gus Dur bahkan menjadi anggota MPR dari Golkar, meskipun disukai rezim, ia acap kali mengkritik pemerintah, diantaranya Proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Soeharto. Selama masa jabatan pertamanya Gus Dur fokus mereformasi sistem Pendidikan Pesantren, dan ia berhasil meningkatkan kualitas sistem Pendidikan Pesantren sehingga mampu menandingi sekolah sekular.
Pada musyawarah nasional 1989 Gus Dur kembali terpilih sebagai ketua PBNU, saat itu Soeharto yang sedang terlibat peperangan politik dengan ABRI sedang berusaha menarik simpati muslim.
Dan pada bulan Desember 1990 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati intelektual muslim dibawah dukungan Soeharto dan diketuai oleh B.J Habibie. Dan pada tahun 1991 beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur untuk bergabung dengan mereka, namun hal itu ditolak oleh beliau, karena dianggap sekterian dan hanya akan memperkuat Soeharto. Bahkan bentuk penolakan Gus Dur semakin diperkuat dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual yang berasal dari berbagai komunitas religius dan sosial. Pada bulan Maret 1992, Gus Dur berencara mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan Ulang Tahun NU yang ke-66 dan merencanakan acara tersebut dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU. Namun Soeharto menghalangi acara tersebut dengan menyuruh polisi mengusir bus yang berisi anggota NU begitu tiba di Jakarta. Dengan perlakuan Soeharto tersebut, Gus Dur menyampaikan surat protes kepada Soeharto, menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan untuk menampilkan Islam yang terbuka dan toleran.
Lalu menjelang Musyawarah Nasional yang ketiga pada tahun 1994, Gus Dur kembali menominasikan dirinya untuk masa jabatan yang ketiga, namun kali ini Soeharto menentang hal tersebut. Lewat pendukungnya seperti BJ Habibie dan Harmoko, untuk mengkampanyekan penolakannya dengan melawan atas terpilihnya kembali Gus Dur. Bahkan tempat dimana sedang diadakan Musyawarah Nasional tersebut dijaga ketat oleh satuan ABRI, dan juga berusaha menyuap anggota NU supaya tidak memilih Gus Dur. Namun usaha Soeharto tersebut gagal, dengan terpilihnya kembali Gus Dur untuk masa jabatan berikutnya. Selama masa ini Gus Dur mulai membangun aliansi dengan Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dengan popularitas yang dimiliki oleh Megawati, ia berencana tetap menekan Soeharto. Gus Dur pun menasehati Megawati suapaya berhati-hati, namun hal ini diacuhkannya. Hiangga pada bulan Juli 1996 ia harus membayar mahal itu semua, markasnya diambil alih ketua PDI pendukung pemerintah, Soerjadi.
Pada bulan November 1996 akhirnya Gus Dur bertemu dengan Soeharto yang pertama kalinya semenjak terpilihnya kembali Gus Dur sebagai ketua NU. Dan pada bulan Desembernya beliau bertemu juga dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan pada Juli 1997 merupakan awal krisis moneter, atas situasi ini Soeharto mulai kehilangan kendali, kondisi ini membuat Gus Dur didorong untuk melakukan gerakan reformasi beserta Megawati dan Amien. Namun pada bulan Juni 1998 terkena stroke. Lalu pada 19 Mei 1998, Gus Dur bersama delapan pemimpin Komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang mengusulkan membentuk komite reformasi. Usulan Soeharto tersebut ditolak oleh Gus Dur dan delapan pemimpin komunitas muslim tersebut.
Aedangkan Amin, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan Gus Dur yang moderat terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 mei 1998, BJ Habibie yang merupakan wakil presiden pada saat itu, maju menggantikan Soeharto sebagai presiden. Salah satu dampak atas jatuhnya Soeharto adalah banyaknya lahir Partai baru, termasuk komunitas NU yang menyuruh Gus Dur untuk membentuk Partai Polotik baru pada bulan Juni. Dan pada bulan Juli, Gus Dur baru menanggapi ide mendirikan Partai Politik, karena dianggap merupakan satu-satu cara untuk melawan Golkar dipemilihan umum, Partai itu akhirnya terbentuk dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.
Dan pada pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dan PDI memenangkan 33%suara. Pada Oktober 1999 MPR kembali memulai memilih Presiden baru, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. 
Selama masa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur. Lalu pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Dan pada bulan Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Bahkan Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik.
Pada tahun 2000 muncul dua skandal , yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya. Pada bulan Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Lalu pada tanggal 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan kemudian menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia.
Dan pada Pemilu bulan April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Gus Dur kembali sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai kandidat.
Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput.
Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.


Kehidupan Pribadi
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.



Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.

Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama. 

Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.

Sepanjang prestasinya Gus Dur mendapatkan penghargaan dari berbagai kalangan:

Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial.



Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.

Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM.

Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.

Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan, yaitu:

- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)

- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003) 

- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)

- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)

- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)

0 komentar:

Post a Comment