saat aku berkata dan menyapa dengan kata dalam rangkaiannya. justru aku merasa terhunus asa yang pilu. selayaknya malam semua itu hanya melahirkan sepi serta sunyi. tak mampu terlepas bebas. selayaknya awan yang menari. apakah bentuk untuk mengiba dalam tangis. aku tidak menginginkan demikian.
resah bukan lagi menjadi hal tabu dalam ceritaku. namun asa sungguh merupakan setan yang menakutkan. pilu yang telah mendekatkanku dengan pena dan buku. lebih tepatnya kertas-kertas dengan rangkaian abjad tak menentu. ibarat si kecil yang bermain pena untuk corat-caret kertas kosong. sebuah kenakalan yang berlabel belajar. karena sewaktu aku memulai menulis, justru kala aku benar-benar tak mengetahui keakuanku yang sesungguhnya. aku yang tak mampu menelaah kekusutan hati serta akal fikiran. semua berawal dari keresahan, semua terlahir dari kegalauan. dari sana cerita dimulai.
abjad-abjad yang terus mengurai dalam rangkaiannya, kian masa kian menghujam langit-langit pilu. kian menghunus dinding asa. bukan rambut yang memutih, juga bukan badan yang mengurus. melainkan kekusutan yang semakin kusut, keresahan yang semakin terstruktur. selalu entah dan entah saat dengan lantang aku pertanyakan pada diriku. tentang keadaan yang sejujurnya.
saat langit menyapaku dengan hujan, aku diam menggigil. saat bumi menegurku dengan bongkahan isinya, aku justru lari terbirit-birit. dan saat malam selalu membuatku merasa sepi serta sunyi, aku justru terpaku dalam sudut kehidupan yang mati. aku tetap tidak bisa untuk terlepas dari keakuanku yang begitu lemah. aku tetap aku yang selalu mempermasalahkan 'waktu' sebagai penyebab adanya 'kenangan'.
saat ini, saat dimana malam akan segera usai. saat dimana fajar akan segera tersenyum. subuh biasanya ibuku bilang padaku. justru merupakan sebuah awal untuk terbuai dalam lautan mimpi-mimpi tidur. tidak selayaknya orang-orang yang menjadikan saat ini sebagai akhir cerita dan berdo'a. selalu saja 'entah' yang terlahir dalam gumam. dan selalu saja aku yang terkalahkan oleh waktu.
dalam petikan nada yang kosong sempat aku mendengar harapan yang nyata. menghampiri diri dengan sapa-sapa kasih penuh instrumen sendu. mengharu biru memancing air mata meleleh. tapi tak lama, ternyata itu hanya saja petikan nada yang kosong. tanpa isi dan hanya imajinasi pada rimbunnya ranting yang telah patah. sedikit mendongak lalu berteriak dalam bisu.
"wahai langit, kemarilah. membungkuklah sedikit agar kau tak terlalu tinggi untuk menyampaikan rinduku pada bintang itu. kemarilah langit. sikerdil ingin berbisik padamu"
lalu kembali menunduk samar, menatap pijakan kaki yang becek dengan air menggenang. sedikit melangkah maju mencari nyaman. namun tetap 'entah' yang mengisi kepala untuk diucap bibir.
bukan malam, melainkan menjelang fajar. dan bukan sendiri, melainkan serasa begitu sunyi dan sepi. langit masih bertahan dalam kebisuan. dan angin mencoba mendekat dengan semerbak dingin. mengajariku untuk mengeja yang tertera didinding kehidupan. dengan sedikit ragu, mataku mengarah. dan bibirku kembali bergumam.
"langit akan tetap membisu, dan malam akan tetap sunyi sepi sampai kehangatan hati menyapa kembali. begitu pun hujan, ia akan tetap mampu membasahi kemarau. dan bintang akan tetap berada dibawah pengendalian malam. jika kau tak mampu menyanjung malam, maka rindumu pada bintang, akan tetap menjadi rindu yang mengangan".
"langit akan tetap membisu, dan malam akan tetap sunyi sepi sampai kehangatan hati menyapa kembali. begitu pun hujan, ia akan tetap mampu membasahi kemarau. dan bintang akan tetap berada dibawah pengendalian malam. jika kau tak mampu menyanjung malam, maka rindumu pada bintang, akan tetap menjadi rindu yang mengangan".
0 komentar:
Post a Comment