Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

12 June 2011

Embun Pada Mawar


CERBUNG
oleh: Ghomy




senja sore itu begitu merona, membanggakan keindahan setiap pandangan. nampak gumpalan awan bergerak berlahan, bergeser pelan. begitu pun mentari, berlahan menghilang dibalik langit sebelah barat. turun dengan kepastian yang lembut, lalu hilang tergantikan rembulan. kemerduan seru ajakan terdengar berkumandang, seolah saling sapa disetiap sudut kehidupan. sebuah seru ajakan bersujud, untuk meninggalkan sejenak kefanaan dunia. sebagian mereka disibukan dengan persiapan, menyucikan diri sebelum berdialog dengan sang pemilik segalanya. sedang dibalik jendela sebuah rumah yang cukup sederhana, naila berdiri mematung memandangi jalanan dengan sedikit cahaya lampu merkuri. dengan pandangan kosong serta embun kesedihan yang nampak menetes, mengalir pelan menyusuri pipi hingga terjatuh. pecah, lalu buyar membuat ruangan dipenuhi aroma luka yang menyayat hatinya.

keikhlasan masih belum menyapa dirinya atas kepergian sosok yang membingkai hatinya dengan asmara cinta. benaknya sedang melalang buana, menyusuri catatan kisah yang masih tertinggal diantara puing kehilangan. berharap mampu menghadirkan kembali sosok itu dihadapannya, lalu ia akan memeluknya dengan manja dan berkata 'jangan tinggalin aku'. kesedihan semakin menggema, air mata mulai mencipta sungai-sungai kecil dipipi, menerobos dinding jiwa dan menenggelamkan dalam keputus asaan. hatinya menjerit, namun mulutnya membisu gemetar. jiwanya mengaung lara, namun raga mematung tak bergerak. hanya embun dipipi yang terus menetes dengan iringan sayatan perih kehilangan.

'ndu...ndu...' suara dari balik pintu terdengar sedikit serak. namun naila masih saja terdiam mematung dalam kesedihannya. masih terus memandangi jalanan yang semakin ramai dengan lalu lalang kendaraan. suara itu tidak mampu menembus benaknya yang sedang mengumpulkan sisa-sisa catatan indahnya. 'ndu...sudah maghrib...sholat dulu' seorang perempuan rapuh nampak berdiri dipintu, perempuan si pemilik suara serak tadi. dengan tertatih melangkah lunglai berlahan mendekat naila, 'sudahlah ndu...sampai kapan kamu akan seperti ini??ikhlaskan kepergian reihan...' ucap perempuan itu sembari menepuk pundak naila. 'ibu....' sahut naila dengan bibir gemetar, lalu memeluk

ibunya dan kembali menangis sendu. ‘sudah ndu…sudah..’ kata yang mampu keluar dari bibir ibu naila untuk menenangkannya. Sejenak ruanngan dipenuhi kebisuan, hanya air mata yang saling sapa dengan aliran sedihnya. Secercah cahaya harapan naila yang sudah didepan mata, justru padam tak tersisa, selain pahit dan kenangan.

Sejak kepergian sang kekasih menuju sudut peristirahatan hidup, kepribadian naila berubah drastis. Waktu telah membunuh keceriaan naila, perpisahan yang terlalu dini, telah mengubur tawa naila dalam galian kenangan kemaren. Menjadikan naila menjadi sosok yang suka murung dalam sudut kamar, dengan keseharian aktivitas melamun dalam pandangan kosong kesedihan.


Benak naila terus mengajaknya menyusuri berkas-berkas keindahan yang tersisa dalam tumpukan rak kenangan. Kenyataan dengan riuhnya kesedihan, selayaknya tamparan telak. Hingga menyakitkan yang teramat sangat bagi dirinya. Rangkaian merajut mawar yang telah menjadi harapan besar dalam hidupnya, harus ia relakan terbawa angin perpisahan, buyar tak tersisa, pergi untuk selamanya. Pertunangan yang tinggal menunggu esok harus kandas oleh perpisahan, kecelakaan itu telah merenggut nyawa raihan. Yang seharusnya hari ini datang untuk memasangkan cinderamata cinta dijarinya. Butiran permata kecil selayaknya embun kembali nampak menetes dari mata naila yang lembab. Saat hari ini sang kekasih benar-benar tidak datang menjemputnya menuju singgasana cinta.

‘Tuhan…kenapa Engkau ambil dia dariku saat seperti ini..??’ bisik naila lirih dengan iringan air mata. Hatinya benar-benar terguncang miris, perih tersayat dengan kandasnya harapan bersanding dengan kekasih hatinya. Semua sirna, segalanya hilang, selayaknya pasir dalam genggaman. Air mata bukan lagi menjadi tetesan-tetesan embun, melainkan membludak menjadi sungai-sungai kesedihan dalam hatinya. Kehidupan ia rasakan tak lagi guna, yang tertera dalam fikirannya kini hanya kedatangan raihan membawa seuntai cinta yang dibingkai dengan mawar-mawar putih, dengan bangga kebahagiaan meminta naila menjadi pendamping hidup dengan memasangkan cinderamata cinta dijarinya. Mutiara yang berada dibalik kotak hati berwarna merah.

Seolah waktu tak mau berdiam diri, hari pun terus bergulir berganti. Kesedihan naila tak kunjung berubah menjadi ceria, semua masih seperti biasa, hari-hari dengan air mata. Saat terik mentari mulai menyombongklan sinarnya dipagi hari, naila berniat menghibur hatinya dengan menempatkan raga diantara mawar taman bunga depan rumah. Membelainya satu persatu, lalu menghirup wanginya dengan penuh kemesraan. Sembari terus berkeliling menyiram bunga-bunga koleksinya, benak naila masih saja berkecamuk tak menentu. Kegagalan pertunangannya masih menjadi kesedihan yang mendalam. Kepergian sang kekasih menemui Tuhan, masih menjadi hal yang sangat sulit buat ia sandingkan dengan keikhlasan.


Jiwanya masih saja menggigil pilu, raganya terus diserang kelemahan karena hilangnya keinginan untuk makan. Setok semangatnya untuk melanjutkan hidup kian menipis, rasanya ia ingin segera menyusul sang kekasih untuk menemui Tuhan. Tapi ia sadar, bahwa itu menjadi hal yang pasti akan membuat keluarganya sangat sedih. ‘mas raihan...aku sedang meyiram bunga-bunga yang kita tanam dulu, sudah besar-besar mas…lihatlah..indah bukan??’ gumam naila sambil terus menyiram bunga-bunga ditaman, menyentuhnya dengan lembut lalu menghirup wanginya dengan penuh kemesraan.


Terlebih lagi saat bertegur sapa dengan bunga mawar yang berada paling pojok taman. Ia sangat menikmati setiap hirupan wanginya, penuh cinta kasih saat menyentuhnya. Mawar yang dulu ia tanam bersama raihan, sebagai lambang cinta mereka yang akan terus tumbuh dan tetap wangi. ‘sayang…mawar ini akan menjadi pita pengikat cinta kita, ia akan terus tumbuh dan akan tetap wangi’ benak naila kembali mengarah pada kata raihan kala itu, kala mereka masih mampu saling sapa dengan senyuman dalam nyata.

fajar telah bergulir, dan kini sang mentari mulai menyombongkan teriknya. kehangatan pada sangat terasa saat sinarnya menyentuh pori dengan mesra. tapi tidak bagi naila, jiwa dan raganya masih tetap menggigil pilu, kesedihan atas kehilangan itu masih belum mampu ia usir dari batinnya. kicauan burung diteras rumahnya masih membisu dalam pendengarannya, semua masih sama, semua masih seperti kemarin, sedih atas kehilangan. naila hanya berjalan mengayunkan kaki dengan tertatih dalam menuai jejak langkahnya beranjak dari taman bungganya. dengan sesekali memandang kebelakang menatap bunga mawar paling pojok. lalu kembali menunduk dalam langkahnya memasuki rumah.


langkah naila terhenti sejenak, pandangannya kembali mengarah kebelakang, namun kali ini bukan untuk menatap mawar pojok taman. melainkan mencari sumber suara yang baru saja mengucap sapa dalam gumam salam. 'selamaat pagi naila...assalamualaikum...' ucap seorang pria yang berdiri dibelakangnya sembari menenteng tas plastik berwarna putih. sedang naila masih tertahan dalam diam, menatap mencari tau sambil menerawang mencoba mengingat-ingat sosok siapa itu. 'kok malah bengong??' ucap pria itu lagi. 'eh...sory,,,iya,,wa'alaikum salam' akhirnya ucap naila memecah bisunya sedari tadi.

bersambung....


4 comments:

  1. wuoiiii kenapa bersambung?? :/
    udah serius ne baca na :/ :/

    ReplyDelete
  2. hohoho....tunggu lah,
    ntar pasti berlanjut...hehe
    gmn kabarmu kawand????

    ReplyDelete
  3. alangkah indahnya jika rangkaian abjadmu terampungkan menjadi kisah yang utuh, tidak seperti potongan kisah yang sobek.
    akan aku simak hingga tuntas pada akhir cerita mawar yang berembun....hehe

    ReplyDelete
  4. terimakasih kata, semoga saja jemariku segera menggoreskan tinta untuk kelanjutan kisah embun pada mawar...saat malam menjadi inspirasiku dalam lembaran-lembaran makna....

    ReplyDelete