Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

09 May 2012

Biarkan Aku Mati dalam Keadaan Bermoral, Tuhan


Tidak!!!

Aku tidak boleh berlaku demikian itu. Bukankah identitasku adalah seorang mahasiswa, tahu kah kau apa itu mahasiswa?? Yah, benar mahasiswa. Tentu bukan sembarang siswa yang hanya mengetahui soal-menyoal urusan nilai saja. Melainkan banyak hal yang menjadi tanggung jawab untuk diketahui, banyak factor yang mesti masuk dalam daftar analisa pemikiran. Kehidupan bermasyarakat, beretika, berilmu dan yang paling penting bermoral.



















Moral??
Masihkah itu tercermin dalam diri ku, atau dalam lingkup yang lebih luas dalam diri mahasiswa. Yah, benarkah masih ada moral dalam diri mahasiswa sekarang.

Dan aku??
 Masih pantaskah ku deklarasikan diri ku sebagai manusia yang bermoral.

Ah, persetan dengan yang namanya moral. Lihatlah di kalangan petinggi bangsa ini, masih kah mereka memiliki moral yang pantas kita acungi jempol. Tidak.

Budaya korupsi, masihkah itu pantas disebut sebagai wujud dari moralitas petinggi bangsa. Juga skandal kasus yang mengatas namakan cinta, namun ujung-ujungnya hanya menambah daftar situs porno. Gila.

Tunggu!!
Bukan kah aku juga akan menjadi bagian dari mereka yang telah kehilangan moral itu, jika aku lakukan hal ini. Bukan kah harus ada yang mampu menggawangi dirinya dari hilangnya identitas moral.

Lalu,

Aku kah itu??
Sesuci itu kah diri ku. Sehingga harus mendeklarasikan diri sebagai manusia yang bermoral. Faham kah aku tentang konsep serta makna dari moral itu sendiri. Ah, nampaknya aku hanya sok-sokan saja kawan.

Sudahlah, tak usah kau terlalu idealis. Tak akan mampu kau dapatkan sebuah kelayakan dalam menjalani kehidupan ini dengan idealismu itu. Tenang saja, kau tak akan disebut sebagai lelaki materialis, anggap saja kau hanya berusaha realistis dalam menjalani kehidupan ini. Bukan kah hidup membutuhkan bekal yang cukup?? Anggaplah itu cara Tuhan membuka pintu rizki mu.

Kembali aku berfikir sejenak, menimbang-nimbang segala kecamuk fikiran yang semakin tak menentu. Mencoba mensinkronkan antara kata hati dengan logika kebutuhan hidup.

Ah, sudahlah. Lakukan saja!! Anggap saja moralitas memang sudah hilang dalam kehidupan bersama ini. Bukan kah kebebasan seperti ini yang telah lama kau idamkan?? Apa lagi yang kau tunggu, lakukan saja. Toh, korupsi sudah menjadi hal yang biasa dalam bangsa ini. Tak perlu khawatir, kau akan baik-baik saja.

Tidak!!
Jangan!!
Apa nuranimu rela kau menjadi bagian dari mereka yang tak bermoral. Ingat, kau seorang mahasiswa. Gunakanlah akalmu dengan benar, dimana teorimu yang selama ini kau pelajari berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Hanya sebatas ini kah kau menjaga pemahaman mu tentang sebuah keadilan. Tidak kah tertinggal kebaikan dalam hatimu walau hanya sebutir debu. Tidak kah kau rasakan itu, jangan nodai teori mu sendiri. Selama ini kau sudah banyak berkoar tentang keadilan bahwa korupsi harus di berantas. Bukan kah api itu panas kawan??

Halah, tenang saja. Tuhan Maha Segalanya, termasuk juga Maha Memaklumi keadaan hamba-Nya. Ini kesempatanmu agar kau bisa melanjutkan mimpi mu kejenjang pendidikan selanjutnya. Anggap saja ini sebagai jawaban Tuhan atas do’a-do’a mu selama ini. Bukan kah kau bertujuan baik?? Sejak kapan ada larangan untuk sesuatu yang dianggap baik. Sudah lakukan saja, toh jumlah dari nominalnya terlalu banyak. Kau sisihkan sedikit tentu tak bakal ada yang tahu dan anggaplah itu sebagai bonus buat kebaikanmu selama ini.

Tidak!!
Sungguh, jangan lakukan itu. Tuhan memang Maha Segalanya termasuk Maha Memaklumi, namun apa kau tahu seberapa Maklumnya Tuhan terhadap hamba-Nya yang seperti kau saat ini. Ingat, Tuhan mengetahui apa yang tidak hamba-Nya ketahui.

Sementara gejolak dalam diriku semakin carut-marut. Aku seolah di desak sebuah keadaan yang sungguh membuat kadar iman menipis. Dan manusia di depanku ini. Ah, dia terlalu lihai memainkan kata-kata dalam merayu menuju dosa.

“maaf pak, anda salah orang menawarkan hal ini pada saya. Permisi”

Ku tutup kopor dimeja, lalu bergegas melangkah keluar ruangan. Melangkah sedikit berlari meninggalkan gedung yang menjulang tinggi hampir menyentuh langit. Entah, namun ada perasaan lega yang membingkai hati ini. Sebuah kelegaan yang membaur dalam kenyamanan serta kemenangan paling berharga sepanjang sejarah hidupku.

Dalam hati aku berjanji, berjanji pada semesta raya. Akan aku tuliskan segala kejujuran yang ku alami ini, tentang upaya pengganjalan untuk tujuan bungkam membisu. Yah, akan ku kabarkan segala kisah ini pada angin juga dedaunan pohon-pohon mahoni. Serta lewat burung-burung bakal ku titipkan catatanku agar mampu melewati samudra hingga ke ujung dunia. Bahwa di dunia ini masih ada manusia yang mampu menjaga moralnya dari bayang-bayang korupsi yang membudaya. Benar, aku berjanji akan hal itu. Aku janji.

Masih dalam langkah kebanggaan menuju peraduan pulang. Lewati gang-gang kecil perumahan kumuh ibu kota, aku terbelalak merinding ketakutan. Saat langkah ku tiba-tiba dipotong oleh lelaki berbadan kekar tinggi. Secepat kilat aku langsung berbalik dan berniat berlari sekencang mungkin. Namun sial, di ujung gang juga sudah menanti seorang yang tak kalah kekar dan besar.

Keringatku mengucur deras, badan ku menggigil pilu. Dengan sisa-sisa ketegaran yang ku punya. Aku mendongak menatap langit biru, berharap menemukan dimana Tuhan sedang mengawasiku. Lalu hatiku bergeming “jika memang ini konsekuensi dari keputusan ku tadi, biarkan aku mati dalam keadaan bermoral Tuhan”



Dalam Penantian Kereta Shubuh
Yogyakarta


Ghomi Gomel

0 komentar:

Post a Comment