Tidak!!!
Aku
tidak boleh berlaku demikian itu. Bukankah identitasku adalah seorang
mahasiswa, tahu kah kau apa itu mahasiswa?? Yah, benar mahasiswa. Tentu bukan
sembarang siswa yang hanya mengetahui soal-menyoal urusan nilai saja. Melainkan
banyak hal yang menjadi tanggung jawab untuk diketahui, banyak factor yang
mesti masuk dalam daftar analisa pemikiran. Kehidupan bermasyarakat, beretika,
berilmu dan yang paling penting bermoral.
Masihkah
itu tercermin dalam diri ku, atau dalam lingkup yang lebih luas dalam diri
mahasiswa. Yah, benarkah masih ada moral dalam diri mahasiswa sekarang.
Dan
aku??
Masih pantaskah ku deklarasikan diri ku sebagai manusia yang bermoral.
Ah,
persetan dengan yang namanya moral. Lihatlah di kalangan petinggi bangsa ini,
masih kah mereka memiliki moral yang pantas kita acungi jempol. Tidak.
Budaya
korupsi, masihkah itu pantas disebut sebagai wujud dari moralitas petinggi
bangsa. Juga skandal kasus yang mengatas namakan cinta, namun ujung-ujungnya
hanya menambah daftar situs porno. Gila.
Tunggu!!
Bukan
kah aku juga akan menjadi bagian dari mereka yang telah kehilangan moral itu,
jika aku lakukan hal ini. Bukan kah harus ada yang mampu menggawangi dirinya
dari hilangnya identitas moral.
Lalu,
Aku
kah itu??
Sesuci
itu kah diri ku. Sehingga harus mendeklarasikan diri sebagai manusia yang
bermoral. Faham kah aku tentang konsep serta makna dari moral itu sendiri. Ah,
nampaknya aku hanya sok-sokan saja kawan.
Sudahlah,
tak usah kau terlalu idealis. Tak akan mampu kau dapatkan sebuah kelayakan
dalam menjalani kehidupan ini dengan idealismu itu. Tenang saja, kau tak akan
disebut sebagai lelaki materialis, anggap saja kau hanya berusaha realistis
dalam menjalani kehidupan ini. Bukan kah hidup membutuhkan bekal yang cukup??
Anggaplah itu cara Tuhan membuka pintu rizki mu.
Kembali
aku berfikir sejenak, menimbang-nimbang segala kecamuk fikiran yang semakin tak
menentu. Mencoba mensinkronkan antara kata hati dengan logika kebutuhan hidup.
Ah, sudahlah. Lakukan saja!! Anggap saja moralitas memang sudah hilang dalam
kehidupan bersama ini. Bukan kah kebebasan seperti ini yang telah lama kau
idamkan?? Apa lagi yang kau tunggu, lakukan saja. Toh, korupsi sudah menjadi
hal yang biasa dalam bangsa ini. Tak perlu khawatir, kau akan baik-baik saja.
Tidak!!
Jangan!!
Apa
nuranimu rela kau menjadi bagian dari mereka yang tak bermoral. Ingat, kau
seorang mahasiswa. Gunakanlah akalmu dengan benar, dimana teorimu yang selama
ini kau pelajari berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Hanya sebatas ini kah kau
menjaga pemahaman mu tentang sebuah keadilan. Tidak kah tertinggal kebaikan
dalam hatimu walau hanya sebutir debu. Tidak kah kau rasakan itu, jangan nodai
teori mu sendiri. Selama ini kau sudah banyak berkoar tentang keadilan bahwa
korupsi harus di berantas. Bukan kah api itu panas kawan??
Halah,
tenang saja. Tuhan Maha Segalanya, termasuk juga Maha Memaklumi keadaan
hamba-Nya. Ini kesempatanmu agar kau bisa melanjutkan mimpi mu kejenjang
pendidikan selanjutnya. Anggap saja ini sebagai jawaban Tuhan atas do’a-do’a mu
selama ini. Bukan kah kau bertujuan baik?? Sejak kapan ada larangan untuk
sesuatu yang dianggap baik. Sudah lakukan saja, toh jumlah dari nominalnya
terlalu banyak. Kau sisihkan sedikit tentu tak bakal ada yang tahu dan
anggaplah itu sebagai bonus buat kebaikanmu selama ini.
Tidak!!
Sungguh,
jangan lakukan itu. Tuhan memang Maha Segalanya termasuk Maha Memaklumi, namun
apa kau tahu seberapa Maklumnya Tuhan terhadap hamba-Nya yang seperti kau saat
ini. Ingat, Tuhan mengetahui apa yang tidak hamba-Nya ketahui.
Sementara
gejolak dalam diriku semakin carut-marut. Aku seolah di desak sebuah keadaan
yang sungguh membuat kadar iman menipis. Dan manusia di depanku ini. Ah, dia
terlalu lihai memainkan kata-kata dalam merayu menuju dosa.
“maaf
pak, anda salah orang menawarkan hal ini pada saya. Permisi”
Ku
tutup kopor dimeja, lalu bergegas melangkah keluar ruangan. Melangkah sedikit
berlari meninggalkan gedung yang menjulang tinggi hampir menyentuh langit.
Entah, namun ada perasaan lega yang membingkai hati ini. Sebuah kelegaan yang
membaur dalam kenyamanan serta kemenangan paling berharga sepanjang sejarah
hidupku.
Dalam hati aku berjanji, berjanji pada semesta raya. Akan aku tuliskan
segala kejujuran yang ku alami ini, tentang upaya pengganjalan untuk tujuan bungkam
membisu. Yah, akan ku kabarkan segala kisah ini pada angin juga dedaunan
pohon-pohon mahoni. Serta lewat burung-burung bakal ku titipkan catatanku agar
mampu melewati samudra hingga ke ujung dunia. Bahwa di dunia ini masih ada
manusia yang mampu menjaga moralnya dari bayang-bayang korupsi yang membudaya.
Benar, aku berjanji akan hal itu. Aku janji.
Masih
dalam langkah kebanggaan menuju peraduan pulang. Lewati gang-gang kecil
perumahan kumuh ibu kota, aku terbelalak merinding ketakutan. Saat langkah ku
tiba-tiba dipotong oleh lelaki berbadan kekar tinggi. Secepat kilat aku
langsung berbalik dan berniat berlari sekencang mungkin. Namun sial, di ujung
gang juga sudah menanti seorang yang tak kalah kekar dan besar.
Keringatku
mengucur deras, badan ku menggigil pilu. Dengan sisa-sisa ketegaran yang ku
punya. Aku mendongak menatap langit biru, berharap menemukan dimana Tuhan
sedang mengawasiku. Lalu hatiku bergeming “jika memang ini konsekuensi dari
keputusan ku tadi, biarkan aku mati dalam keadaan bermoral Tuhan”
Dalam Penantian Kereta Shubuh
Yogyakarta
Ghomi Gomel
0 komentar:
Post a Comment