Kadang aku berfikir tentang sebuah tempat dan kehidupan, namun bukan kehidupan yang semrawut dan banyak manusia-manusia munaafik. Aku berfikir tentang diriku, ddimana hanya aku dan kehidupanku bersama alam bebas, liar dan apa adanya. Tentang sebuah kejujuran yang sangat lugas serta tanpa pembatas apapun, bebas.
Namun secara kemanusiaan yang manusiawi dalam diriku, hati nulari mengatakaan bahwa hal itu merupakan salah satu keadaan paling 'egois' yang akan aku tonjolkan. Dimana seorang aku hanya memikirkan diriku sendiri. Sadar bahwa hal tersebut merupakan sebuah wujud dari rasa jengkel yang akut terhadap sebuah keadaan serta realitas yang terjadi.
Seolah, fikiran ini benar-benar menemukan titik buntu tanpa dapat aku mengurainya. Benang-benang persolaan nampaknya semakin kusut dan tak teratur, tapi katanya sih semuanya untuk sebuuah keteraturan. Ah, entahlah. Mungkin memang benar ini hanya sebuah keegoisan semu yang terlampau tanpa kontrol. Meskipun, memang itulah keinginan yang sempat mengusik setiap kali aku tertidur.
Dalam fikiranku yang semakin hidup, politik, kekuasaan, jabatan, keadilan dan kebersamaan hanyalah sebuah ilusi yang berada dalam ruang angan masing-masing bocah. Mereka akan terus berkembang dan tumbuh mengikuti realita yang mendidiknya. Dan saat kedewasaan telah menjamu suatu usia, barulah menyadari bahwa semua hal itu seolah menjadi fiktif keberadaannya.
Pejabat hanya membanggakan dirinya dengan pakaian rapih dan mewahnya, tak beda dengan pengobral janji-janji yang pada akhirnya akan dijual juga dengan haraga sangat murah. Keadilan seolah mati semenjak diputuskan adanya keadilan itu sendiri. Saat deklarasi sebuah bangsa akan menjunjung nilai-nilai keadilan, justru saat itu juga keadilan itu sirnaa tanpa jejak dan pemahaman berarti. Ah, tapi mungkin itu hanya asumsi bodohku saja. Dimana seorang aku yang tak kunjung rampung menyusun abjad sekedar untuk menjabarkan makna 'aku' dari keakuanku.
Kolaborasi antara kepentingan pribadi dengan kekuasaan seolah semakin klop saja, legalitas undang-undang terus dimanipulasi untuk melancarkan serangan-serangan yang membabi buta dan brutal. Dan jelas, bukan sebuah upaya mensejahterakan apa lagi menegakkan nilai-nilai keadilan. Karena itu, bagiku keadilan telah lama mati bersamaan dengan dicetuskannya keadilan itu sendiri.
Lantas, dimana sekarang aku berada??
Sesungguhnya aku pun tidak tahu. Entah, tapi aku merasa berada diantara kemunafikan massal. Beberapa dari mereka yang dulu mengatakan kawan, kini justru beralih tempat memasuki barisan pengobral janji itu sendiri, melakukan tindakan-tindakan kompromi dengan pihak-pihak yang justru akan menggerogoti kesuburan bangsa. Dan akhirnyapun aku tahu, konsistensi mereka ternyata tak lebih banyak dari ujung kuku seorang balita. Sungguh, aku merasa sendiri tak berkawan. Aku merasa sepi tanpa arah tujuan. Semuanya seolah mati dan dimatikan melalui dinamika peradaban yang angkuh dan brutal. IRONIS, aku kehilangan keakuanku dalam lingkunganku berlahan juga ikut lenyap tenggelam.
Dalam fikiranku yang semakin hidup, politik, kekuasaan, jabatan, keadilan dan kebersamaan hanyalah sebuah ilusi yang berada dalam ruang angan masing-masing bocah. Mereka akan terus berkembang dan tumbuh mengikuti realita yang mendidiknya. Dan saat kedewasaan telah menjamu suatu usia, barulah menyadari bahwa semua hal itu seolah menjadi fiktif keberadaannya.
Pejabat hanya membanggakan dirinya dengan pakaian rapih dan mewahnya, tak beda dengan pengobral janji-janji yang pada akhirnya akan dijual juga dengan haraga sangat murah. Keadilan seolah mati semenjak diputuskan adanya keadilan itu sendiri. Saat deklarasi sebuah bangsa akan menjunjung nilai-nilai keadilan, justru saat itu juga keadilan itu sirnaa tanpa jejak dan pemahaman berarti. Ah, tapi mungkin itu hanya asumsi bodohku saja. Dimana seorang aku yang tak kunjung rampung menyusun abjad sekedar untuk menjabarkan makna 'aku' dari keakuanku.
Kolaborasi antara kepentingan pribadi dengan kekuasaan seolah semakin klop saja, legalitas undang-undang terus dimanipulasi untuk melancarkan serangan-serangan yang membabi buta dan brutal. Dan jelas, bukan sebuah upaya mensejahterakan apa lagi menegakkan nilai-nilai keadilan. Karena itu, bagiku keadilan telah lama mati bersamaan dengan dicetuskannya keadilan itu sendiri.
Lantas, dimana sekarang aku berada??
Sesungguhnya aku pun tidak tahu. Entah, tapi aku merasa berada diantara kemunafikan massal. Beberapa dari mereka yang dulu mengatakan kawan, kini justru beralih tempat memasuki barisan pengobral janji itu sendiri, melakukan tindakan-tindakan kompromi dengan pihak-pihak yang justru akan menggerogoti kesuburan bangsa. Dan akhirnyapun aku tahu, konsistensi mereka ternyata tak lebih banyak dari ujung kuku seorang balita. Sungguh, aku merasa sendiri tak berkawan. Aku merasa sepi tanpa arah tujuan. Semuanya seolah mati dan dimatikan melalui dinamika peradaban yang angkuh dan brutal. IRONIS, aku kehilangan keakuanku dalam lingkunganku berlahan juga ikut lenyap tenggelam.
0 komentar:
Post a Comment