Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang namanya melambung diluar negeri ini selalu menghadirkan karya menarik dan berbobot. Namun, lewat keahliannya mengolah bahasa membuat setiap karyanya asyik dan nikmat dibaca. Selain menambah data otak tentang pengetahuan masa lampau, membaca buku-buku karya Pram juga merupakan upaya pemahaman nilai historis dari sudut pandang yang berbeda.
Sebab dalam karya-karyanya, Pramoedya tidak hanya melakukan pembacaan
ulang terhadap masa lalu. Ia memberi penafsiran tandingan terhadap cara
pembacaan dan penafsiran yang selama ini dominan. Arok Dedes tidak menampilkan
tokoh sejarah alternatif, seperti pada karya-karya sebelumnya. Tokoh-tokoh
dalam lingkungan utama cerita adalah tokoh-tokoh dan lingkungan yang juga utama
dalam buku-buku sejarah dan cerita rakyat yang ada.
Hanya saja, bila selama ini Akuwu Tunggul Ametung cenderung dikesankan sebagai korban karena istrinya direbut Ken Arok, dalam novel Pram tokoh tersebut digambarkan sebagai seorang sudra yang kasar, suka merampok, merampas anak gadis dan istri orang. Mpu Gandring, yang biasanya dikesankan sebagai pembuat keris yang sakti, dan kutukannya amat berpengaruh dalam sejarah, justru digambarkan sebagai tukang pembuat senjata serakah dan licik.
Sebaliknya, Ken Arok, yang oleh umum dikenal sebagai maling, pemabuk, dan kemudian menyatakan dirinya sendiri sebagai keturunan brahmana, justru digambarkan sebagai pemuda desa yang cerdas, cendekia, berani, setia, serta baik hati. Ken Dedes, yang biasanya dikenal sebagai wanita mahacantik, dan yang menjadi warisan dari generasi raja yang satu ke generasi raja yang lain, digambarkan sebagai keturunan brahmana yang cerdas, berani, dan mempunyai tekad yang kuat, meskipun tak luput dari sifat egoistis dan cemburu.
Dalam karya-karya sejarahnya, Pramoedya selalu memperlihatkan visi kerakyatan yang kuat. Rakyat dalam karya-karyanya selalu digambarkan sebagai sekelompok besar orang yang tertindas oleh para penguasa kolonial ataupun feodal. Tapi, mereka tidak pernah dapat sepenuhnya dipasifikasikan. Mereka selalu melakukan perlawanan, mencoba melawan, meski perlawanan itu seringkali berakhir dengan kekalahan.
Namun, perlawanan dan perjuangan itu tidak pernah dilakukan membabi buta. Elemen kedua yang menonjol dari karya-karya Pramoedya adalah intelektualitas dan pengetahuan. Karena itu, cerita-cerita Pramoedya, termasuk Arok Dedes, selalu pula melibatkan tidak hanya rakyat, melainkan juga cendekiawan yang berasal dari lapisan atas atau menengah masyarakat yang sudah terintelektualisasikan.
Dalam Arok Dedes ditemukan satu elemen lain, yaitu elemen kerakyatan, atau solidaritas dengan rakyat, seperti yang terungkap pada identitas Ken Arok, yang oleh Lohgawe digambarkan sebagai "perpaduan antara brahmana dan satria yang berasal dari sudra..." (halaman 159). Konsep ini tidak hanya gagasan sosial-politik yang penting dalam karya dan pemikiran Pramoedya, melainkan juga menjadi semacam bingkai atau kerangka dasar dari estetikanya.
Unsur brahmana dalam karya Pramoedya tampil dalam bentuk wawasan pengetahuannya yang luas dan rinci. Unsur satrianya menyatakan diri pada kekuatan dramatik, antara lain dalam bentuk dialog yang memukau, tingkat kepadatan peristiwa dan tindakan yang tinggi. Sedangkan unsur sudranya terletak pada paparan karakterisasi tokoh dan deskripsi alam yang menyentuh perasaan, seperti dalam Arok Dedes.
Dalam hal inilah karya-karya Pramoedya berbeda, misalnya, dengan karya-karya mitologis Yudhistira yang didominasi oleh elemen satria yang penuh tindakan. Berbeda dengan karya-karya sejarah dan mitologis Mangunwijaya yang didominasi oleh elemen brahmana. Juga berbeda dengan karya-karya sejarah Umar Kayam yang didominasi oleh elemen brahmana dan sudra.
Arok Dedes mempunyai satu keistimewaan. Ia tidak hanya mendemistifikasi deskripsi sejarah yang dominan mengenai masa lalu -yang pada umumnya mempunyai jangkauan pengaruh terbatas- melainkan pula demistifikasi terhadap mitos yang sudah begitu kuat tertanam dalam alam pikiran rakyat kebanyakan. Karya tersebut sekaligus membrahmanakan rakyat, dan mengembalikan mereka ke dalam jati diri mereka sendiri sebagai sudra.
Hanya saja, bila selama ini Akuwu Tunggul Ametung cenderung dikesankan sebagai korban karena istrinya direbut Ken Arok, dalam novel Pram tokoh tersebut digambarkan sebagai seorang sudra yang kasar, suka merampok, merampas anak gadis dan istri orang. Mpu Gandring, yang biasanya dikesankan sebagai pembuat keris yang sakti, dan kutukannya amat berpengaruh dalam sejarah, justru digambarkan sebagai tukang pembuat senjata serakah dan licik.
Sebaliknya, Ken Arok, yang oleh umum dikenal sebagai maling, pemabuk, dan kemudian menyatakan dirinya sendiri sebagai keturunan brahmana, justru digambarkan sebagai pemuda desa yang cerdas, cendekia, berani, setia, serta baik hati. Ken Dedes, yang biasanya dikenal sebagai wanita mahacantik, dan yang menjadi warisan dari generasi raja yang satu ke generasi raja yang lain, digambarkan sebagai keturunan brahmana yang cerdas, berani, dan mempunyai tekad yang kuat, meskipun tak luput dari sifat egoistis dan cemburu.
Dalam karya-karya sejarahnya, Pramoedya selalu memperlihatkan visi kerakyatan yang kuat. Rakyat dalam karya-karyanya selalu digambarkan sebagai sekelompok besar orang yang tertindas oleh para penguasa kolonial ataupun feodal. Tapi, mereka tidak pernah dapat sepenuhnya dipasifikasikan. Mereka selalu melakukan perlawanan, mencoba melawan, meski perlawanan itu seringkali berakhir dengan kekalahan.
Namun, perlawanan dan perjuangan itu tidak pernah dilakukan membabi buta. Elemen kedua yang menonjol dari karya-karya Pramoedya adalah intelektualitas dan pengetahuan. Karena itu, cerita-cerita Pramoedya, termasuk Arok Dedes, selalu pula melibatkan tidak hanya rakyat, melainkan juga cendekiawan yang berasal dari lapisan atas atau menengah masyarakat yang sudah terintelektualisasikan.
Dalam Arok Dedes ditemukan satu elemen lain, yaitu elemen kerakyatan, atau solidaritas dengan rakyat, seperti yang terungkap pada identitas Ken Arok, yang oleh Lohgawe digambarkan sebagai "perpaduan antara brahmana dan satria yang berasal dari sudra..." (halaman 159). Konsep ini tidak hanya gagasan sosial-politik yang penting dalam karya dan pemikiran Pramoedya, melainkan juga menjadi semacam bingkai atau kerangka dasar dari estetikanya.
Unsur brahmana dalam karya Pramoedya tampil dalam bentuk wawasan pengetahuannya yang luas dan rinci. Unsur satrianya menyatakan diri pada kekuatan dramatik, antara lain dalam bentuk dialog yang memukau, tingkat kepadatan peristiwa dan tindakan yang tinggi. Sedangkan unsur sudranya terletak pada paparan karakterisasi tokoh dan deskripsi alam yang menyentuh perasaan, seperti dalam Arok Dedes.
Dalam hal inilah karya-karya Pramoedya berbeda, misalnya, dengan karya-karya mitologis Yudhistira yang didominasi oleh elemen satria yang penuh tindakan. Berbeda dengan karya-karya sejarah dan mitologis Mangunwijaya yang didominasi oleh elemen brahmana. Juga berbeda dengan karya-karya sejarah Umar Kayam yang didominasi oleh elemen brahmana dan sudra.
Arok Dedes mempunyai satu keistimewaan. Ia tidak hanya mendemistifikasi deskripsi sejarah yang dominan mengenai masa lalu -yang pada umumnya mempunyai jangkauan pengaruh terbatas- melainkan pula demistifikasi terhadap mitos yang sudah begitu kuat tertanam dalam alam pikiran rakyat kebanyakan. Karya tersebut sekaligus membrahmanakan rakyat, dan mengembalikan mereka ke dalam jati diri mereka sendiri sebagai sudra.
Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Baca juga mengenai sepak terjang Pramoedya Ananta Toer semasa hidupnya, tentang perjalanannya dari penjara ke penjara, kegigihannya dalam menulis hingga akhir hayatnya. Klik disini.
0 komentar:
Post a Comment