Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

17 April 2013

Pelangi, Dalam Sketsa Hitam Putih # 3


 








“ada apa to nduk, kok datang-datang langsung nangis” Gio memulai bertanya dengan kelembutan cintanya.
Namun bukan jawaban yang di dapatkan oleh Gio, Lestari justru kembali menangis dan memeluknya lebih erat lagi. Gio bingung, tapi ia tahu ada sesuatu yang membuat kekasihnya berat untuk berkata padanya.
Dengan penuh kesabaran Gio menunggu kekasihnya sampai mau bercerita. Hingga pada akhirnya bibir Lestari bergumam lirih.

“ay”

“iya nduk, ada apa. Apa yang telah membuatmu menangis begini”

Kembali Lestari diam, pandangnya menunduk kelantai. Air matanya masih saja mengalir dengan sendirinya. Diantara suara yang tersekat tangis, Lestari menceritakan segala yang ia rasakan selama ini. Tentang wejangan-wejangan ibunya, agar kelak mencari calon suami yang mampu mencukupi kebutuhannya. Lestari sadar, segala perkataan ibunya hanyalah hasil dari buah fikir yang diajarkan pengalaman hidupnya. Bahkan jika memang Lestari belum mempunyai calon, ibunya sudah memilihkan calon saat ia lulus nanti.

Sering coba Lestari hubungkan antara wejangan ibunya dengan kondisi Gio, justru Lestari mendapati keraguan. Sebab, besar kemungkinan Lestari tahun ini mampu menyelesaikan skripsinya, sementara Gio masih belum tentu. Lestari benar-benar diambang kebingungan.

Lestari sadar, kalau dia memanglah masih menjaga rasa cintanya. Namun kebimbangan antara tuntutan berfikir realistis dengan menjaga cintanya untuk Gio, sungguh buatnya harus berfikir keras.

“ay, ikhlaskan aku untuk mencari kebahagiaan, agar aku bisa menyenangkan hati mama ku”

Seketika itu juga, darah Gio seolah berhenti mengalir. Lehernya seperti di cekik sekuat tenaga, hingga membuatnya tak mampu berucap sepatah kata pun. Dadanya terasa menyempit sesak, nafasnya tak juga normal berhembus. Semuanya tak menentu, perasaannya tak dapat ia definisikan hanya sebatas sakit biasa, melainkan luar biasa sakit. Mendapati Gio demikian, Lestari kembali memeluknya dengan erat.

            “maafkan aku ay, aku hanya mencoba realistis memandang hidup ini. Aku ingin segera bisa membahagiakan mama ku. Dan aku tak ingin kehidupanku seperti kakak-kakak ku”

“iya nduk, aku juga sedang berusaha. Do’akan aku yah”

“aku selalu mendo’akan mu ay, tapi tolong ikhlaskan aku kali ini”

“apa sudah ada orang lain dalam kehidupanmu nduk??”

“ini bukan soal itu ay, melainkan soal ketenangan batin ku”

Benak Gio melayang kesana-kemari. Bersiap-siap menempatkan segala keindahan bersama Lestari pada almari kenangan hidupnya. Entah apa dia bisa tanpa Lestari, tapi kebahagiaan perempuan yang dicintainya itu harus ia upayakan. Meskipun berat dan menyakitkan. Setidaknya begitulah teori-teori yang selama ini Gio pelajari. Dan sekarang, teori yang ia pelajari mendapat ujian.

“semoga kamu jujur mengatakannya nduk, bukan karena ada orang lain yang mampu memberikan apa yang belum bisa aku kasih. Bukan pula karena ada orang lain yang mampu tidak melakukan seperti kesalahanku dulu”

“iya. Ini lah kejujuranku ay. Kamu tahu kan ay, bagaimana mama ku yang selalu mengukur kebahagiaan dari materi. Dan dari sana aku sadar, bagaimana kehidupan kami selama ini. Aku hanya ingin ketenangan jiwa ku ay…”

“…aku tidak bisa menjalani kehidupan dalam kemunafikan seperti ini secara terus-menerus. Jika memang Tuhan berkehendak kita jodoh, kamu tetap orang yang aku harapkan menjadi ayah dari anak-anak ku kelak ay”

“baiklah, jika itu kejujuranmu. Dan ini lah kejujuranku…”

“…Apapun itu nduk, selagi untuk kebahagiaanmu akan selalu aku upayakan. Dan semoga ini cara Tuhan dalam mempertegas takdirNya, kalau kita memang jodoh”

“amin”

Keduanya masih saling berpelukan. Air mata telah menjadi saksi perpisahan dengan harapan lebih baik itu. Gio dan Lestari menyerah pasrahkan harapan cinta mereka pada takdir Tuhan. Berlahan Lestari beranjak melangkah keluar kamar, sementara Gio menatap punggung perempuan lembut itu dengan mata berkaca-kaca diantara pintu kamar.

Kehidupan seolah memahami kepiatuan hati keduanya, hujan turun dengan peluh. Burung segera beringsut kembali memasuki sarang mereka. Dan diantara kepiawaian hujan, Gio mengantar Lestari pergi kepada harapan mulia.

Jika memang Tuhan berkehendak kita jodoh, kamu tetap orang yang aku harapkan menjadi ayah dari anak-anak ku kelak

Kata itu menjadi penghatar kesedihan Gio, kata itu menjadi upaya Lestari untuk bangkit menghadapi kehidupan. Selamat jalan Lestariku. Begitu mulut Gio akhirnya bergumam.

----------------------------Selesai---------------------

0 komentar:

Post a Comment