“ada
apa to nduk, kok datang-datang langsung nangis” Gio memulai bertanya dengan
kelembutan cintanya.
Namun bukan jawaban yang di dapatkan oleh Gio, Lestari
justru kembali menangis dan memeluknya lebih erat lagi. Gio bingung, tapi ia
tahu ada sesuatu yang membuat kekasihnya berat untuk berkata padanya.
Dengan
penuh kesabaran Gio menunggu kekasihnya sampai mau bercerita. Hingga pada
akhirnya bibir Lestari bergumam lirih.
“ay”
“iya
nduk, ada apa. Apa yang telah membuatmu menangis begini”
Kembali
Lestari diam, pandangnya menunduk kelantai. Air matanya masih saja mengalir
dengan sendirinya. Diantara suara yang tersekat tangis, Lestari menceritakan
segala yang ia rasakan selama ini. Tentang wejangan-wejangan ibunya, agar kelak
mencari calon suami yang mampu mencukupi kebutuhannya. Lestari sadar, segala
perkataan ibunya hanyalah hasil dari buah fikir yang diajarkan pengalaman
hidupnya. Bahkan jika memang Lestari belum mempunyai calon, ibunya sudah
memilihkan calon saat ia lulus nanti.
Sering
coba Lestari hubungkan antara wejangan ibunya dengan kondisi Gio, justru
Lestari mendapati keraguan. Sebab, besar kemungkinan Lestari tahun ini mampu
menyelesaikan skripsinya, sementara Gio masih belum tentu. Lestari benar-benar
diambang kebingungan.
Lestari
sadar, kalau dia memanglah masih menjaga rasa cintanya. Namun kebimbangan
antara tuntutan berfikir realistis dengan menjaga cintanya untuk Gio, sungguh
buatnya harus berfikir keras.
“ay,
ikhlaskan aku untuk mencari kebahagiaan, agar aku bisa menyenangkan hati mama
ku”
Seketika
itu juga, darah Gio seolah berhenti mengalir. Lehernya seperti di cekik sekuat
tenaga, hingga membuatnya tak mampu berucap sepatah kata pun. Dadanya terasa
menyempit sesak, nafasnya tak juga normal berhembus. Semuanya tak menentu,
perasaannya tak dapat ia definisikan hanya sebatas sakit biasa, melainkan luar
biasa sakit. Mendapati Gio demikian, Lestari kembali memeluknya dengan erat.
“maafkan
aku ay, aku hanya mencoba realistis memandang hidup ini. Aku ingin segera bisa membahagiakan
mama ku. Dan aku tak ingin kehidupanku seperti kakak-kakak ku”
“iya
nduk, aku juga sedang berusaha. Do’akan aku yah”
“aku
selalu mendo’akan mu ay, tapi tolong ikhlaskan aku kali ini”
“apa
sudah ada orang lain dalam kehidupanmu nduk??”
“ini
bukan soal itu ay, melainkan soal ketenangan batin ku”
Benak
Gio melayang kesana-kemari. Bersiap-siap menempatkan segala keindahan bersama
Lestari pada almari kenangan hidupnya. Entah apa dia bisa tanpa Lestari, tapi
kebahagiaan perempuan yang dicintainya itu harus ia upayakan. Meskipun berat
dan menyakitkan. Setidaknya begitulah teori-teori yang selama ini Gio pelajari.
Dan sekarang, teori yang ia pelajari mendapat ujian.
“semoga
kamu jujur mengatakannya nduk, bukan karena ada orang lain yang mampu memberikan
apa yang belum bisa aku kasih. Bukan pula karena ada orang lain yang mampu
tidak melakukan seperti kesalahanku dulu”
“iya.
Ini lah kejujuranku ay. Kamu tahu kan ay, bagaimana mama ku yang selalu
mengukur kebahagiaan dari materi. Dan dari sana aku sadar, bagaimana kehidupan
kami selama ini. Aku hanya ingin ketenangan jiwa ku ay…”
“…aku
tidak bisa menjalani kehidupan dalam kemunafikan seperti ini secara
terus-menerus. Jika memang Tuhan berkehendak kita jodoh, kamu tetap orang yang
aku harapkan menjadi ayah dari anak-anak ku kelak ay”
“baiklah,
jika itu kejujuranmu. Dan ini lah kejujuranku…”
“…Apapun
itu nduk, selagi untuk kebahagiaanmu akan selalu aku upayakan. Dan semoga ini
cara Tuhan dalam mempertegas takdirNya, kalau kita memang jodoh”
“amin”
Keduanya
masih saling berpelukan. Air mata telah menjadi saksi perpisahan dengan harapan
lebih baik itu. Gio dan Lestari menyerah pasrahkan harapan cinta mereka pada
takdir Tuhan. Berlahan Lestari beranjak melangkah keluar kamar, sementara Gio
menatap punggung perempuan lembut itu dengan mata berkaca-kaca diantara pintu
kamar.
Kehidupan
seolah memahami kepiatuan hati keduanya, hujan turun dengan peluh. Burung
segera beringsut kembali memasuki sarang mereka. Dan diantara kepiawaian hujan,
Gio mengantar Lestari pergi kepada harapan mulia.
Jika memang Tuhan berkehendak kita
jodoh, kamu tetap orang yang aku harapkan menjadi ayah dari anak-anak ku kelak
Kata
itu menjadi penghatar kesedihan Gio, kata itu menjadi upaya Lestari untuk
bangkit menghadapi kehidupan. Selamat jalan Lestariku. Begitu mulut Gio
akhirnya bergumam.
----------------------------Selesai---------------------
0 komentar:
Post a Comment