[Menulis]. Senin kemarin, seluruh
sekolahan setingkat SMA melakukan ritual akhir (UN) sebagai penentu terakhir
kelulusan. Ritual tahunan yang diikuti puluhan ribu sekolah diseluruh Indonesia
ini nampaknya tidak berjalan mulus. Pasalnya ritual yang seharusnya dilakukan
secara menyeluruh dan serempak itu, ternyata ada sekitar Sembilan Profinsi
tidak melakukannya. Dalam pemberitaan diberbagai media kejadian tersebut
disebabkan karena distribusi soal UN yang kurang atau tidak sampai pihak
sekolah.
Inilah pukulan telak
bagi pendidikan kita, sebuah bentuk wajah suram dari tiang pembentuk karakter
generasi. Bagaimana tidak, pasalnya awak media dalam pemberitaannya seolah tak
ada habis-habisnya permalasahan disektor pendidikan ini. Kegagalan UN, bukanlah
satu-satunya hal yang menciderai wajah pendidikan di Indonesia.
Bagaimana dengan kasus
pelecehan sek terhadap siswa/siswi yang tak kunjung jera, seorang siswa/siswi
yang bunuh diri lantaran malu nunggak bayar sekolah, kekerasan terhadap
siswa/siswi, belum lagi berapa siswa/siswi yang terjerat dalam narkoba. Dan
sekarang, tidak terselenggaranya UN secara serempak lantaran kesalahan teknis.
Luar biasa.
Lembaga pendidikan
memang bukan sosok pengawas yang mampu memantau selama 24 jam penuh. Namun juga
bukan berarti tidak mampu menciptakan pemikiran anak didiknya secara jernih dan
terbuka. Peran lingkungan, masyarakat, dan tentu kita semua juga sebenarnya
penting dalam proses pengontrolan anak generasi bangsa. Artinya, secara
menyeluruh kita memang memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kemajuan
suatu bangsa.
Kegagalan
UN
Tujuan dasar adanya
pendidikan tak lain adalah untuk mencerdaskan generasi bangsa, begitulah sebuah
amanat sakral UU kita. Lantas, bagaimana dengan kegagalan UN yang terjadi
dibeberapa daerah di Indonesia Senin kemarin?.
Mantan Wakil Presiden RI
Jusuf Kalla, dalam acara Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) 2013, di Balairung UI,
Selasa (16/4/2013) mengakui adanya carut marut pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kali
ini. Hal itu dilihat dari adanya kemunduran jadwal pelaksanaan UN yang terjadi di
11 provinsi, (Okezone.com).
Namun pada prinsipnya,
pendidikan kita selama ini nampaknya juga hanya sebagai bahan uji coba para
birokrat. Pasalnya, seperti yang kita tahu. Dalam lembaga pendidikan kita
terjadi bongkar pasang kurikulum. Hal ini dapat dilihat dari fakta lapangan
yang pada setiap pergantian kementrian, maka kurikulum kembali berganti.
Bongkar-pasang
kurikulum yang seolah sudah menjadi rutinitas setiap pergantian mentri ini,
tentu sangat merepotkan. Baik bagi para siswa/siswi maupun para pengajar
sendiri, sebab setiap pergantian kurikulum akan berdampak pada keefektifan
kegiatan belajar mengajar. Para Guru/tenaga pengajar tentu akan mengalami
kebingungan tersendiri dalam pengaplikasian kurikulum yang baru, sementara
dalam proses pengajaran melalui kurikulum lama saja kadang masih menyesuaikan.
Sejatinya,
gonjang-ganjing dunia pendidikan sudah mengalami proses panjang. Perdebatan demi
perdebatan dengan mengharap akan mendapat sebuah solusi yang solutifpun kerap
terjadi. Mulai dari wilayah diskusi publik hingga ranah Paripurna, perdebatan
terkait pendidikan seolah menjadi topik yang selalu hangat.
Pendidikan yang bergeser
“sudah jatuh, tertimpa
tangga”. Mungkin pepatah lama tersebutlah yang cukup relevan dengan fenomena
pendidikan kita yang terus mengalami kemerosotan. Belum lama, kita sedikit
merasa bangga atas ditolaknya rancangan sekolah bertaraf internasional. Bagaimana
tidak, konsep dasar sekolah dalam UU 45 adalah mencerdaskan semua generasi
bangsa bukan hanya orang-orang kaya.
Namun, senin kemarin
kembali dunia pendidikan kita mendapat pukulan telak. Setelah ada sekitar
sebelas propinsi di Indonesia gagal melaksanakan UN. Konon, hal tersebut
merupakan sebuah kesalahan teknis saja.
Pertanyaannya, jika
dalam teknis saja terjadi kesalahan bagaimana dengan mutu, citra, visi, misi,
dan kualitas pendidikan kita? Yang sejatinya bertanggung jawab atas kecerdasan
generasi bangsa.
“memanusiakan manusia”,
sebuah konsep lama yang hingga kini sejatinya masih sangat relevan jika dunia
pendidikan benar-benar mengimaninya sebagai dasar keimanan anak didiknya. Namun
sayangnya, orientasi pendidikan sekarang lebih bersifat materil. Atau sebuah
jembatan penyebrang menuju perbaikan ekonomi/status kelas. Artinya, pendidikan
terus mengalami penyempurnaan grand desainnya, namun bukan pada orientasi
mencerdaskan. Melainkan bagaimana pendidikan mampu menciptakan calon-calon
robot manusia yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi global.
Dengan demikian,
pendidikan telah mengalami pergeseran makna yang cukup miris. Dari tujuan yang
sangat mulia hingga kini menjadi bertujuan/berorientasi pasar.
Gagalnya dilaksanakan
UN disebelas propinsi seharusnya menjadi kaca mata analisis kita bersama, bahwa
dunia pendidikan kita memrlukan perhatian lebih. Jika generasi bangsa gagal
dicerdaskan oleh pendidikan, atau pendidikan gagal mencetak generasi bangsa
yang memiliki intelektual merdeka, maka hanya tinggal menunggu waktu untuk
kehancurannya. (ghom)
0 komentar:
Post a Comment