Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

17 April 2013

Pendidikan Berorientasi Pasar, UN Gagal


[Menulis]. Senin kemarin, seluruh sekolahan setingkat SMA melakukan ritual akhir (UN) sebagai penentu terakhir kelulusan. Ritual tahunan yang diikuti puluhan ribu sekolah diseluruh Indonesia ini nampaknya tidak berjalan mulus. Pasalnya ritual yang seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan serempak itu, ternyata ada sekitar Sembilan Profinsi tidak melakukannya. Dalam pemberitaan diberbagai media kejadian tersebut disebabkan karena distribusi soal UN yang kurang atau tidak sampai pihak sekolah.

Inilah pukulan telak bagi pendidikan kita, sebuah bentuk wajah suram dari tiang pembentuk karakter generasi. Bagaimana tidak, pasalnya awak media dalam pemberitaannya seolah tak ada habis-habisnya permalasahan disektor pendidikan ini. Kegagalan UN, bukanlah satu-satunya hal yang menciderai wajah pendidikan di Indonesia.

Bagaimana dengan kasus pelecehan sek terhadap siswa/siswi yang tak kunjung jera, seorang siswa/siswi yang bunuh diri lantaran malu nunggak bayar sekolah, kekerasan terhadap siswa/siswi, belum lagi berapa siswa/siswi yang terjerat dalam narkoba. Dan sekarang, tidak terselenggaranya UN secara serempak lantaran kesalahan teknis. Luar biasa.

Lembaga pendidikan memang bukan sosok pengawas yang mampu memantau selama 24 jam penuh. Namun juga bukan berarti tidak mampu menciptakan pemikiran anak didiknya secara jernih dan terbuka. Peran lingkungan, masyarakat, dan tentu kita semua juga sebenarnya penting dalam proses pengontrolan anak generasi bangsa. Artinya, secara menyeluruh kita memang memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kemajuan suatu bangsa.

Kegagalan UN
Tujuan dasar adanya pendidikan tak lain adalah untuk mencerdaskan generasi bangsa, begitulah sebuah amanat sakral UU kita. Lantas, bagaimana dengan kegagalan UN yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia Senin kemarin?.

Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, dalam acara Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) 2013, di Balairung UI, Selasa (16/4/2013) mengakui adanya carut marut pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kali ini. Hal itu dilihat dari adanya kemunduran jadwal pelaksanaan UN yang terjadi di 11 provinsi, (Okezone.com).

Namun pada prinsipnya, pendidikan kita selama ini nampaknya juga hanya sebagai bahan uji coba para birokrat. Pasalnya, seperti yang kita tahu. Dalam lembaga pendidikan kita terjadi bongkar pasang kurikulum. Hal ini dapat dilihat dari fakta lapangan yang pada setiap pergantian kementrian, maka kurikulum kembali berganti.

Bongkar-pasang kurikulum yang seolah sudah menjadi rutinitas setiap pergantian mentri ini, tentu sangat merepotkan. Baik bagi para siswa/siswi maupun para pengajar sendiri, sebab setiap pergantian kurikulum akan berdampak pada keefektifan kegiatan belajar mengajar. Para Guru/tenaga pengajar tentu akan mengalami kebingungan tersendiri dalam pengaplikasian kurikulum yang baru, sementara dalam proses pengajaran melalui kurikulum lama saja kadang masih menyesuaikan.

Sejatinya, gonjang-ganjing dunia pendidikan sudah mengalami proses panjang. Perdebatan demi perdebatan dengan mengharap akan mendapat sebuah solusi yang solutifpun kerap terjadi. Mulai dari wilayah diskusi publik hingga ranah Paripurna, perdebatan terkait pendidikan seolah menjadi topik yang selalu hangat.

 Pendidikan yang bergeser
“sudah jatuh, tertimpa tangga”. Mungkin pepatah lama tersebutlah yang cukup relevan dengan fenomena pendidikan kita yang terus mengalami kemerosotan. Belum lama, kita sedikit merasa bangga atas ditolaknya rancangan sekolah bertaraf internasional. Bagaimana tidak, konsep dasar sekolah dalam UU 45 adalah mencerdaskan semua generasi bangsa bukan hanya orang-orang kaya.

Namun, senin kemarin kembali dunia pendidikan kita mendapat pukulan telak. Setelah ada sekitar sebelas propinsi di Indonesia gagal melaksanakan UN. Konon, hal tersebut merupakan sebuah kesalahan teknis saja.

Pertanyaannya, jika dalam teknis saja terjadi kesalahan bagaimana dengan mutu, citra, visi, misi, dan kualitas pendidikan kita? Yang sejatinya bertanggung jawab atas kecerdasan generasi bangsa.

“memanusiakan manusia”, sebuah konsep lama yang hingga kini sejatinya masih sangat relevan jika dunia pendidikan benar-benar mengimaninya sebagai dasar keimanan anak didiknya. Namun sayangnya, orientasi pendidikan sekarang lebih bersifat materil. Atau sebuah jembatan penyebrang menuju perbaikan ekonomi/status kelas. Artinya, pendidikan terus mengalami penyempurnaan grand desainnya, namun bukan pada orientasi mencerdaskan. Melainkan bagaimana pendidikan mampu menciptakan calon-calon robot manusia yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi global.

Dengan demikian, pendidikan telah mengalami pergeseran makna yang cukup miris. Dari tujuan yang sangat mulia hingga kini menjadi bertujuan/berorientasi pasar.

Gagalnya dilaksanakan UN disebelas propinsi seharusnya menjadi kaca mata analisis kita bersama, bahwa dunia pendidikan kita memrlukan perhatian lebih. Jika generasi bangsa gagal dicerdaskan oleh pendidikan, atau pendidikan gagal mencetak generasi bangsa yang memiliki intelektual merdeka, maka hanya tinggal menunggu waktu untuk kehancurannya. (ghom)


0 komentar:

Post a Comment