Setelah
Lestari mendapatkan pekerjaan, justru warung makan tempat Gio kerja dulu gulung
tikar. Entahlah, apakah itu ada korelasinya. Gio tak tahu. Dan kini kembali ia
berusaha mencari pekerjaan baru, dia tak ingin hanya disibukan dengan aktivitas
kampusnya. Sementara bayang-bayang wajah ayahnya yang renta seringkali muncul
dalam benaknya dengan keringat mengucur. Dan lagi dia seorang lelaki, calon
imam dalam keluarganya kelak. Namun sekarang, justru kekasihnya yang disibukan
oleh pekerjaan. Gio tidak ingin terjadi seperti itu saat kelak ia sudah berumah
tangga dengan Lestari. Dia harus bisa membuktikan kalau dia memang layak
menjadi imam Lestari dan anak-anaknya, meskipun hingga kini pekerjaannya masih sebatas
mencari pekerjaan itu sendiri. Tapi dia tak boleh mundur dan tidak mau mundur.
Sementara
Gio masih dalam usaha mencari pekerjaan, Lestari semakin merasa nyaman dengan
pekerjaan barunya, bahkan kala dia mengambil jatah libur tak selalu ia gunakan
untuk melepas kerinduan dengan Gio. Kadang ia lebih memilih jalan bersama
teman-teman kerjanya. Selain rasa nyaman yang tidak dapat dipungkiri oleh
Lestari juga karena pakewuh yang
kadang membuatnya sulit menempatkan posisi. Beruntung lah, keduanya sudah
sama-sama sefaham, bahwa dalam menjalin hubungan yang terpenting adalah
komunikasi. Karena itu keduanya tak pernah merasa keberatan dengan aktivitas
masing-masing pribadi. Yang terpenting keduanya tahu masing-masing mereka dalam
keadaan baik-baik saja. Soal perasaan cukup keduanya saling menjaga, tentu
dengan batasan-batasan tertentu selagi masih dalam garis kewajaran.
Seperti
siang itu, Lestari meminta izin sekaligus memohon maaf. Di hari liburnya besok
keduanya tak dapat melakukan ritual asmara seperti biasanya. Karena Lestari di
ajak teman-teman kerjanya jalan-jalan.
“ay,
besok nduk di ajak kepantai ma temen-temen kerja. Aku ikut yah?”
“ya
udah gak apa-apa, aku juga sedang banyak tugas nih. Ke pantai mana memangnya?”
“sundak”
“jauh
banget, berapa orang yang ikut”
“hu’um,
soalnya banyak yang belum pernah kesana. Termasuk nduk…hehe. Paling sekitar
enam orang yang ikut”
Sebenarnya,
dalam diri Gio terbesit sedikit kegelisahan. Ia tahu jarak tempuh ke pantai
sundak tidaklah cukup barang satu jam saja. Selain itu trek lintasan Gunung
kidul juga cukup ngeri, tak mungkin kiranya Lestari mampu mengendarai motor
sendiri. Jika begitu, berarti kekasihnya itu akan di boncengkan lelaki lain.
Dalam kejujuran diirinya, Gio mengakui kalau dia cemburu. Namun ia tak mau
membuat kekasihnya kecewa karena melarangnya pergi.
“hmmm…ya
sudah terserah nduk aja. Kalau memang nduk pengin ikut, ya ikut saja nggak
apa-apa. Penting hati-hati di jalan dan selalu ingat nduk sudah punya aku
disini”
Lalu
di tariknya hidung Lestari oleh Gio dengan sedikit menggoda. Kemudian mengecup
keningnya cukup lama. Entah perasaan apa yang membuat Gio tiba-tiba merasa
takut kehilangan kekasihnya.
“iya
ayank ku…tenang saja, disini juga kamu ada kok” jawab Lestari sambil menunjuk
ke arah hatinya. Lalu, ia benamkan wajahnya diantara dada Gio. Erat sekali,
keduanya saling berpelukan.
***
Mentari
muncul malu-malu dari balik bukit sebelah timur. Ufuk telah menyingsing
bersemangat, kehidupan telah mengambil posisi siap di garis start untuk memulai
cerita-ceritanya. Gio berdiri menatap keluar jendela kamar sembari menyangga
secangkir kopi hitam. Sesekali asap nikotin menyeruak dari mulutnya yang
membisu. Fikirannya masih berkutak tentang sesuatu yang bisa ia lakukan untuk
menopang ekonomi pribadinya. Tapi entah apa.
Aktivitasnya
sudah banyak klontang-klantung mencari kerja, namun masih saja tak kunjung ia
temukan pencerahan. Sementara sikap Lestari akhir-akhir ini di dapatinya
sedikit berubah. Jiwa kelembutannya seolah telah luntur entah karena apa. Mungkin
telah tertinggal di pantai sundak gunung kidul beberapa waktu lalu. Ia juga
lebih sering marah-marah tanpa sebab yang jelas. Selain itu, Lestari juga kerap
kali memunculkan kembali kesalahan Gio pada masa lalu. Komunikasinya dengan
Lestari semakin tak baik. Bahkan keduanya semakin jarang melakukan ritual
asmara di malam minggu.
Diam-diam
Gio memperhatikan setiap gerak-gerik kekasihnya. Kotak masuk di hp Lestari
selalu Gio dapati kosong tiap kali di lihatnya. Seolah selalu di sterilkan
terlebih dahulu sebelum keduanya bertemu. Padahal sebelumnya diantara mereka
selalu terbuka satu sama lain. Dalam hatinya, jiwa Gio bergeming sendu.
Dimana Lestariku yang dulu,
benarkah ada korelasi antara perubahan sikap kekasihku itu dengan kunjungannya
ke sundak. Atau memang benar prasangka ku ini, cintanya telah luntur berlahan
hanya karena kehidupan telah menawarkan cinta yang lain.
Pagi-pagi
Lestari sudah berada di ambang pintu kamar Gio. Dengan menahan kantuknya, Gio melangkah
setengah sadar ke arah pintu. Aktivitas membangunkan yang akhir-akhir ini
hilang dari Lestari, kini kembali ada.
“bangun,
bangun, bangun. Mandi sana, kuliah.” setengah sewot Lestari mendorong tubuh Gio
menuju kamar mandi. Sedangkan Gio hanya menurut dengan langkah malas. Dan
terpaksa Gio pun mandi saat hari masih begitu pagi.
Namun
aneh, hal itu tidak terjadi. Lestari tidak menyuruhnya mandi. Lestari tidak
mendorong tubuhnya ke kamar mandi. Ia justru langsung nyelonong masuk ke dalam
kamar, membenamkan wajahnya diantara tumpukan bantal. Sungguh Gio mendapati
Lestari yang palsu. Namun dia tetap melanjutkan langkah menuju kamar mandi,
meski tanpa suruhan Lestari.
Gio
tertegun, saat memasuki kamarnya dan mendapati Lestari sedang menagis terisak.
Segera ia mendekati kekasihnya, menyeka air matanya dengan jari. Lalu mengecup
keningnya dan menuntun kepala Lestari ke arah dadanya. Gio biarkan kekasihnya
menangis dipelukannya sampai bajunya basah oleh air mata. Baru lah setelah
tangisnya mereda Gio mengambilkan minum untuk Lestari. Berharap dapat membuat
kekasihnya tenang.
0 komentar:
Post a Comment