Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

16 April 2013

Pelangi, Dalam Sketsa Hitam Putih # 2


Setelah Lestari mendapatkan pekerjaan, justru warung makan tempat Gio kerja dulu gulung tikar. Entahlah, apakah itu ada korelasinya. Gio tak tahu. Dan kini kembali ia berusaha mencari pekerjaan baru, dia tak ingin hanya disibukan dengan aktivitas kampusnya. Sementara bayang-bayang wajah ayahnya yang renta seringkali muncul dalam benaknya dengan keringat mengucur. Dan lagi dia seorang lelaki, calon imam dalam keluarganya kelak. Namun sekarang, justru kekasihnya yang disibukan oleh pekerjaan. Gio tidak ingin terjadi seperti itu saat kelak ia sudah berumah tangga dengan Lestari. Dia harus bisa membuktikan kalau dia memang layak menjadi imam Lestari dan anak-anaknya, meskipun hingga kini pekerjaannya masih sebatas mencari pekerjaan itu sendiri. Tapi dia tak boleh mundur dan tidak mau mundur.

Sementara Gio masih dalam usaha mencari pekerjaan, Lestari semakin merasa nyaman dengan pekerjaan barunya, bahkan kala dia mengambil jatah libur tak selalu ia gunakan untuk melepas kerinduan dengan Gio. Kadang ia lebih memilih jalan bersama teman-teman kerjanya. Selain rasa nyaman yang tidak dapat dipungkiri oleh Lestari juga karena pakewuh yang kadang membuatnya sulit menempatkan posisi. Beruntung lah, keduanya sudah sama-sama sefaham, bahwa dalam menjalin hubungan yang terpenting adalah komunikasi. Karena itu keduanya tak pernah merasa keberatan dengan aktivitas masing-masing pribadi. Yang terpenting keduanya tahu masing-masing mereka dalam keadaan baik-baik saja. Soal perasaan cukup keduanya saling menjaga, tentu dengan batasan-batasan tertentu selagi masih dalam garis kewajaran.

Seperti siang itu, Lestari meminta izin sekaligus memohon maaf. Di hari liburnya besok keduanya tak dapat melakukan ritual asmara seperti biasanya. Karena Lestari di ajak teman-teman kerjanya jalan-jalan.

“ay, besok nduk di ajak kepantai ma temen-temen kerja. Aku ikut yah?”

“ya udah gak apa-apa, aku juga sedang banyak tugas nih. Ke pantai mana memangnya?”

“sundak”

“jauh banget, berapa orang yang ikut”

“hu’um, soalnya banyak yang belum pernah kesana. Termasuk nduk…hehe. Paling sekitar enam orang yang ikut”

Sebenarnya, dalam diri Gio terbesit sedikit kegelisahan. Ia tahu jarak tempuh ke pantai sundak tidaklah cukup barang satu jam saja. Selain itu trek lintasan Gunung kidul juga cukup ngeri, tak mungkin kiranya Lestari mampu mengendarai motor sendiri. Jika begitu, berarti kekasihnya itu akan di boncengkan lelaki lain. Dalam kejujuran diirinya, Gio mengakui kalau dia cemburu. Namun ia tak mau membuat kekasihnya kecewa karena melarangnya pergi.

“hmmm…ya sudah terserah nduk aja. Kalau memang nduk pengin ikut, ya ikut saja nggak apa-apa. Penting hati-hati di jalan dan selalu ingat nduk sudah punya aku disini”

Lalu di tariknya hidung Lestari oleh Gio dengan sedikit menggoda. Kemudian mengecup keningnya cukup lama. Entah perasaan apa yang membuat Gio tiba-tiba merasa takut kehilangan kekasihnya.

“iya ayank ku…tenang saja, disini juga kamu ada kok” jawab Lestari sambil menunjuk ke arah hatinya. Lalu, ia benamkan wajahnya diantara dada Gio. Erat sekali, keduanya saling berpelukan.

***

Mentari muncul malu-malu dari balik bukit sebelah timur. Ufuk telah menyingsing bersemangat, kehidupan telah mengambil posisi siap di garis start untuk memulai cerita-ceritanya. Gio berdiri menatap keluar jendela kamar sembari menyangga secangkir kopi hitam. Sesekali asap nikotin menyeruak dari mulutnya yang membisu. Fikirannya masih berkutak tentang sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menopang ekonomi pribadinya. Tapi entah apa.

Aktivitasnya sudah banyak klontang-klantung mencari kerja, namun masih saja tak kunjung ia temukan pencerahan. Sementara sikap Lestari akhir-akhir ini di dapatinya sedikit berubah. Jiwa kelembutannya seolah telah luntur entah karena apa. Mungkin telah tertinggal di pantai sundak gunung kidul beberapa waktu lalu. Ia juga lebih sering marah-marah tanpa sebab yang jelas. Selain itu, Lestari juga kerap kali memunculkan kembali kesalahan Gio pada masa lalu. Komunikasinya dengan Lestari semakin tak baik. Bahkan keduanya semakin jarang melakukan ritual asmara di malam minggu.

Diam-diam Gio memperhatikan setiap gerak-gerik kekasihnya. Kotak masuk di hp Lestari selalu Gio dapati kosong tiap kali di lihatnya. Seolah selalu di sterilkan terlebih dahulu sebelum keduanya bertemu. Padahal sebelumnya diantara mereka selalu terbuka satu sama lain. Dalam hatinya, jiwa Gio bergeming sendu.

Dimana Lestariku yang dulu, benarkah ada korelasi antara perubahan sikap kekasihku itu dengan kunjungannya ke sundak. Atau memang benar prasangka ku ini, cintanya telah luntur berlahan hanya karena kehidupan telah menawarkan cinta yang lain.

Pagi-pagi Lestari sudah berada di ambang pintu kamar Gio. Dengan menahan kantuknya, Gio melangkah setengah sadar ke arah pintu. Aktivitas membangunkan yang akhir-akhir ini hilang dari Lestari, kini kembali ada.

“bangun, bangun, bangun. Mandi sana, kuliah.” setengah sewot Lestari mendorong tubuh Gio menuju kamar mandi. Sedangkan Gio hanya menurut dengan langkah malas. Dan terpaksa Gio pun mandi saat hari masih begitu pagi.

Namun aneh, hal itu tidak terjadi. Lestari tidak menyuruhnya mandi. Lestari tidak mendorong tubuhnya ke kamar mandi. Ia justru langsung nyelonong masuk ke dalam kamar, membenamkan wajahnya diantara tumpukan bantal. Sungguh Gio mendapati Lestari yang palsu. Namun dia tetap melanjutkan langkah menuju kamar mandi, meski tanpa suruhan Lestari.

Gio tertegun, saat memasuki kamarnya dan mendapati Lestari sedang menagis terisak. Segera ia mendekati kekasihnya, menyeka air matanya dengan jari. Lalu mengecup keningnya dan menuntun kepala Lestari ke arah dadanya. Gio biarkan kekasihnya menangis dipelukannya sampai bajunya basah oleh air mata. Baru lah setelah tangisnya mereda Gio mengambilkan minum untuk Lestari. Berharap dapat membuat kekasihnya tenang.

0 komentar:

Post a Comment