Masa Orba atau yang lebih akrab ditelinga dengan sebutan Orde Baru telah lengser saat reformasi 1998. Sebuah peristiwa yang merubah sejarah bangsa ini sekaligus meninggalkan jejak suram kebrutalan pemerintahan pada saat itu. Dimana terjadi pergolakan luar biasa yang diprakasai oleh krisis moneter. Peristiwa Semanggi, salah satu tragedi berdarah yang membuat puluhan nyawa melayang saat mencoba berontak atas pemaksaan untuk bungkam oleh rezim Soeharto. Penguasa yang telah berhasil melanggengkan kekuasaannya lewat politiknya, baik melalui aparatus negara ataupun partai politiknya.
Namun hal itu telah mengalami tutup buku, yakni pada reformasi 1998 silam. Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI dan digantikan oleh wakilnya yaitu B.J Habibie. Sejak saat itu polemik perpolitikan di Indonesia terus mengalami pengembangan. Berbagai kebijakan dari setiap presiden terus ikut mengawal perjalanan proses pematangan asas negara. Hingga saat ini kita mengenal sebuah dewa kebebasan yakni Demokrasi. Atas dasar landasan kebebasan tersebutlah, masyarakat terus mengalami perkembangan khususnya dalam tingkatan kesadaran kritis. Pasalnya pasca reformasi '98, organisasi banyak bermunculan selayaknya jamur dimusim hujan. Masyarakat seolah menyadari bahwa kesatuan massa merupakan salah satu kekuatan tak tertandingi dalam jagat Demokrasi itu sendiri. Meskipun kerap kali hal ini justru dijadikan ranjau oleh pihak birokrasi sebagai boomerang bagi gerakan massa, salah satunya dengan pembentukan opini publik tentang gerakan anarkis. Tentu hal ini menyudutkan gerakan massa itu sendiri yang pada dasarnya merupakan proses penyampaian aspirasi.
Hal ini merujuk pada RUU kamnas yang hingga kini masih menjadi bahan pembahasan di DPR. Sementara dilain pihak RUU ini banyak dikecam, sebab dinilai akan membawa indonesia kemasa lalu, yakni masa Rezim otoriter Soeharto. Dari bebera item yang terdapat dalam RUU kamnas ini seolah memberikan keleluasaan terhadap aparatus negara (dalam hal ini militer) dalam penanganan kasus sosial. Artinya dalam hal ini militer diperbolehkan memasuki ranah sipil. Jika demikian, lalu kemana kepolisian bertugas??.
Sebenarnya jika mengacu pada asa demokrasi itu sendiri, hal ini jelas sangat kontradiktif. Sebab dengan adanya RUU ini sama saja melakukan pembungkaman. Hanya saja dengan model dan wajah baru namun tetap kepentingan lama, melanggengkan kekuasaan. baik itu diranah pemodal maupun politik.
Dampak Dari Pengesahan RUU Kamnas
Seperti yang sudah dipaparkan diatas, pada dasarnya RUU ini hanyalah sebuah pemolesan alat lama dengan wajah baru. Patilah berharap akan dijadikan sebagai pembohongan yang dihalalkan dan kemudian diamini oleh khalayak luas. Namun nampaknya masyarakat tidak sebodoh itu untuk dikibuli, sebab hingga saat ini penolakan dari berbagai kalangan masih terus bergulir.
Organisasi buruh, yang akhir-akhir ini ramai memploklamirkan penolakannya dalam berbagai media lewat aksi massanya, kemudian kalangan politisi sendiri diberbagai forum diskusi, kaum tani, Mahasiswa, hingga pada kalangan pecandu internet.
Singkatnya RUU Kamnas adalah wajah atau model baru Rezim Soeharto, dimana pada masa orde baru sebuah kebebasan adalah "haram". Jika RUU ini disahkan, maka jelas kita akan kembali dalam bayang-bayang ketakutan kapanpun, dimanapun, setiap saat. Pasalnya dalam Ruu ini jelas mengatur sebuah perluasan tugas militer memasuki ranah sipil. Dengan kata lain, pemerintah nantinya bisa menggunakan UU kamnas dengan dalih kepentingan keamanan. Tentu hal ini akan sangat membahayakan dan dapat merugikan bahkan menciderai asas demokrasi itu sendiri.
Alangkah lebih bijak dan relevan, apabila pertahanan negara baik itu militer ataupun polri benar-benar dikembalikan pada fungsi dan tugasnya. Sebagai pembuktian kekuatan suatu bangsa bukan dengan menunjukan kebringasan pada masyarakatnya, melainkan bagaimana negara-negara lain mampu mengakuinya bahwa negara Indonesia adalah negara yang benar-benar serius memakmurkan rakyatnya. Bukan dengan membuktikan dengan kebringasan terhadap rakyatnya sendiri.
0 komentar:
Post a Comment