Panggung Sandiwara: Kamu Ambil Peran Sebagai Apa?
Dalam beberapa minggu
atau bahkan bulan terakhir, rasa-rasanya lama sekali aku tidak
menjamah bagian ini. Bagian dimana ku lakukan kolaborasi antara
kegelisahan yang mungkin saja menggantung dengan secangkir kopi
pahit. Dan akhirnya ku amini juga tulisanku sendiri sebelumnya
mengenai “alasan klasik yang menggelitik” itu. Dengan dalih
berbagai macam kesibukan, berbagai macam hal, yang ujungnya hanya
satu yaitu lupa menyusun abjad menjadi sebuah kalimat maupun
paragraf. Manusiawi, mungkin saja.
Akhirnya aku ingin
bersuara juga, pemilihan legislatif sudah usai dengan berbagai macam
ragam kontroversinya. Manipulasi suaralah, kecuranganlah, money
politiklah, ini itu lah. Sangat banyak bentuknya, hampir setiap
pemberitaan yang muncul di televisi soal-menyoal itu semua. Meskipun
pileg sudah usai, namun nampaknya bukan berarti semua urusan
perpolitikan di negeri ini usai begitu saja. Masih ada saja persoalan
yang menarik media untuk (entah diberitakan/ diinformasikan) kepada
khalayak umum.
Tidak berhenti disitu,
masyarakat juga dicekoki pemberitaan seputar koalisi antar partai
yang tak kunjung usai. Parpol ini bergabung dengan itu, parpaol itu
merapat dengan ini, semua serba ini itu, ba-bi-bu tak kunjung usai.
Dasar dunia, panggung sandiwara. Apa dengan begitu semua yang berada
diatas panggung itu merupakan badut-badut penghibur, al-hasil saling
berlomba memberikan hiburan semenarik mungkin. Ah, biarkan camar
tetap bercicit menandakan pagi, sebab pagi selalu menyimpan harapan
dibalik sinar sang surya.
Dan suasana semakin
memanas, ketika panggung perpolitikan mendekati perebutan kursi nomor
satu di negeri ini. Yah kursi presiden. Banyak manusia yang bisa jadi
tidak saling mengenal mendadak ramah bukan main, bajingan mendadak
bijak, rajin menyapa sana-sini, ah dasar panggung sandiwara. Tokoh
bermunculan dengan seabrek rekomendasi prestasinya, yang dulunya jauh
mendadak dekat saling rapat, kunjungan demi kunjungan berdalih
silaturrahmi begitu banyak rupa. Siapa tidak mau, kursi nomor satu
dalam sebuah bangsa yang luas dan subur, bangsa yang selalu dilirik
banyak investor asing. Sangat berpeluang bukan? Terlebih demi
penumpukan kekayaan dan perluasan kekuasaan, karena dengan presiden
siapa akan berani memarahi.
Semoga abjad-abjadku
tidak merajuk, setelah sekian lama ku biarkan dan kini ku rajut
dengan pembahasan yang entah apa. Bahkan sang empu tidak begitu
memahaminya, apakah ini sebuah drama atau memang benar-benar sebuah
penegasan meneruskan cita-cita.
Dilain sisi, banyak ulama
mendadak masuk penjara, yang dulunya pemimpin sekaligus wakil rakyat
sudah tak terhitung yang dibui. Lalu, masyarakat akan mempercai siapa
sebagai wakilnya? Ketika orang pinter keblinger, orang ta'at
bermaksiat, orang bodoh biasanya ceroboh, ah kasihan bangsa yang
seharusnya makmur itu.
Pagi sudah meninggi
sekian senti diatas ubun-ubun, belum terlambat untuk kita berharap
dan menata langkah. Siang nanti, siapa yang tahu bumi ini akan
diselimuti kemendungan ataupun cerah. Bahkan sore dan juga malam,
kita juga tidak tahu apakah hujan atau justru banyak kerlip bintang
yang mengharukan. Sebagai manusia, tentu saja kita berharap selalu
memiliki hal yang terbaik untuk hasil sebaik mungkin.
Karena itu, meskipun
panggung sandiwara kian ramai didominasi badut, semoga masih tersisa
badut yang memiliki watak menjadi lakon. Lakon yang akan dengan penuh
perjuangan memberantas kemungkaran, memberangus kemunafikan yang
terstruktur itu. Yah, hanya badut, karena semua merupakan badut.
Selamat pagi dan selamat menjalani aktifitas sebagai apa yang kalian
perankan. Mari berkemas dan berdandan agar menjadi badut yang sanggup
memecahkan dominasi sistem pewayangan politik. Salam dari sudut jogja
yang entah siapa, yang jelas badut juga seperti kalian. Happy
Blogging
0 komentar:
Post a Comment