Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

13 May 2014

Panggung Sandiwara: Kamu Ambil Peran Sebagai Apa?


Panggung Sandiwara: Kamu Ambil Peran Sebagai Apa? 
Dalam beberapa minggu atau bahkan bulan terakhir, rasa-rasanya lama sekali aku tidak menjamah bagian ini. Bagian dimana ku lakukan kolaborasi antara kegelisahan yang mungkin saja menggantung dengan secangkir kopi pahit. Dan akhirnya ku amini juga tulisanku sendiri sebelumnya mengenai “alasan klasik yang menggelitik” itu. Dengan dalih berbagai macam kesibukan, berbagai macam hal, yang ujungnya hanya satu yaitu lupa menyusun abjad menjadi sebuah kalimat maupun paragraf. Manusiawi, mungkin saja.

Akhirnya aku ingin bersuara juga, pemilihan legislatif sudah usai dengan berbagai macam ragam kontroversinya. Manipulasi suaralah, kecuranganlah, money politiklah, ini itu lah. Sangat banyak bentuknya, hampir setiap pemberitaan yang muncul di televisi soal-menyoal itu semua. Meskipun pileg sudah usai, namun nampaknya bukan berarti semua urusan perpolitikan di negeri ini usai begitu saja. Masih ada saja persoalan yang menarik media untuk (entah diberitakan/ diinformasikan) kepada khalayak umum.

Tidak berhenti disitu, masyarakat juga dicekoki pemberitaan seputar koalisi antar partai yang tak kunjung usai. Parpol ini bergabung dengan itu, parpaol itu merapat dengan ini, semua serba ini itu, ba-bi-bu tak kunjung usai. Dasar dunia, panggung sandiwara. Apa dengan begitu semua yang berada diatas panggung itu merupakan badut-badut penghibur, al-hasil saling berlomba memberikan hiburan semenarik mungkin. Ah, biarkan camar tetap bercicit menandakan pagi, sebab pagi selalu menyimpan harapan dibalik sinar sang surya.

Dan suasana semakin memanas, ketika panggung perpolitikan mendekati perebutan kursi nomor satu di negeri ini. Yah kursi presiden. Banyak manusia yang bisa jadi tidak saling mengenal mendadak ramah bukan main, bajingan mendadak bijak, rajin menyapa sana-sini, ah dasar panggung sandiwara. Tokoh bermunculan dengan seabrek rekomendasi prestasinya, yang dulunya jauh mendadak dekat saling rapat, kunjungan demi kunjungan berdalih silaturrahmi begitu banyak rupa. Siapa tidak mau, kursi nomor satu dalam sebuah bangsa yang luas dan subur, bangsa yang selalu dilirik banyak investor asing. Sangat berpeluang bukan? Terlebih demi penumpukan kekayaan dan perluasan kekuasaan, karena dengan presiden siapa akan berani memarahi.

Semoga abjad-abjadku tidak merajuk, setelah sekian lama ku biarkan dan kini ku rajut dengan pembahasan yang entah apa. Bahkan sang empu tidak begitu memahaminya, apakah ini sebuah drama atau memang benar-benar sebuah penegasan meneruskan cita-cita.

Dilain sisi, banyak ulama mendadak masuk penjara, yang dulunya pemimpin sekaligus wakil rakyat sudah tak terhitung yang dibui. Lalu, masyarakat akan mempercai siapa sebagai wakilnya? Ketika orang pinter keblinger, orang ta'at bermaksiat, orang bodoh biasanya ceroboh, ah kasihan bangsa yang seharusnya makmur itu.

Pagi sudah meninggi sekian senti diatas ubun-ubun, belum terlambat untuk kita berharap dan menata langkah. Siang nanti, siapa yang tahu bumi ini akan diselimuti kemendungan ataupun cerah. Bahkan sore dan juga malam, kita juga tidak tahu apakah hujan atau justru banyak kerlip bintang yang mengharukan. Sebagai manusia, tentu saja kita berharap selalu memiliki hal yang terbaik untuk hasil sebaik mungkin.

Karena itu, meskipun panggung sandiwara kian ramai didominasi badut, semoga masih tersisa badut yang memiliki watak menjadi lakon. Lakon yang akan dengan penuh perjuangan memberantas kemungkaran, memberangus kemunafikan yang terstruktur itu. Yah, hanya badut, karena semua merupakan badut. Selamat pagi dan selamat menjalani aktifitas sebagai apa yang kalian perankan. Mari berkemas dan berdandan agar menjadi badut yang sanggup memecahkan dominasi sistem pewayangan politik. Salam dari sudut jogja yang entah siapa, yang jelas badut juga seperti kalian. Happy Blogging



0 komentar:

Post a Comment