Seprtinya
aku terjerumus, entah apakah istilah ini pantas ku gunakan. Namun ada yang
bilang ini terjerumus dilembah madu. Seperti kata kakak itu, kalau kita
sebenarnya sedang tersesat. Hanya saja kita tersesatnya dijalan yang benar.
Sebagai orang baru aku manggut-manggut saja, apa maksud dari kalimat tersebut
aku tidak peduli. Ah, lebih tepatnya mungkin aku tidak tahu. Yah, mungkin
ungkapan tidak tahu jauh lebih netral, setidaknya tidak ada yang terlukai
dengan ketidak pedulianku.
Jadi
apa yang ku maksudkan dengan terjerumus dilembah madu? Seperti kataku tadi, aku
akan bilang tidak tahu. Karena kalimat itulah yang bagiku cukup netral, minimal
tidak ada yang aku cidrai dengan sikap sok tahuku jika aku menjelaskan
maksudnya. Karena aku benar-benar tidak tahu, kecuali hanya ikut-ikutan saja.
“Jadi,
kamu akan pilih siapa Nin” ucapan Gadis tiba-tiba mengagetkanku.
Entah
sudah sejak kapan anak ini ada di sampingku, dan lagi-lagi aku memilih kalimat
tidak tahu untuk memutus pertanyaan yang seolah saling sambung di kapalaku.
Alasanya pun masih sama, agar lebih netral minimal tidak ada yang tercidrai
oleh persepsiku yang kacau. Lantas aku kembali terdiam, diam dengan beragam
argument yang masih saja tertahan untuk dimuntahkan. Akhirnya aku hanya
menggeleng untuk menanggapi pertanyaan Gadis, bagiku itu lebih mampu mewakili
kecamuk ‘entah’ yang ada dalam kepalaku.
“lho,
kenapa? Ini penting buat masa depan kita di kampus ini”
Seperti
biasa, saat situasi seperti ini Gadis akan langsung mengambil posisi. Segudang
teorinya akan segera ditumpahkan, matanya menyala-nyala penuh semangat berusaha
memahamkanku. Namun aku mengenalnya bukan kemarin sore, dialah Gadis dengan
penampilan jaket dan celana belel, seorang aktivis perempuan cukup kondang
dikampus. Entah, seolah teriakannya tidak pernah habis. Pernah, suatu ketika ia
mendapat teguran langsung dari rektor karena terlibat dalam aksi pemecahan kaca
dan penyegelan ruang kuliah. Saat itu pihak kampus berniat menaikan biaya
kuliah, beberapa mahasiswa tidak terima dan melakukan demonstrasi, Gadislah
yang memimpin. Semua pintu ruang kuliah di lem, bakar ban depan loby, lalu
kaca-kaca dilempari batu. Beberapa mahasiswa tertangkap satpam, termasuk Gadis.
Beruntung pihak kampus tidak mengeluarkannya, hanya mendapat skorsing selama
dua semester.
“hey
Nin, kamu mendengarkanku tidak?” ucapnya masih dengan penuh semangat. Aku hanya
mengangguk lemas, bagiku ucapannya semakin sulit untuk dipahami. Aku hanya
mahasiswi biasa, kuliah-mengerjakan tugas-kos-kampus, sesekali diajak keluar
oleh Gadis, begitu selama ini. Pernah, aku diajak ikut berdiskusi oleh Gadis
dengan teman-temannya, namun kapok dan tidak pernah mau ikut lagi. Aku merasa
tidak cocok dan (jujur) takut, kebanyakan anak-anak cowoknya berambut gondrong
dan (maaf) jorok, bahkan beberapa ceweknya merokok. Sejak saat itu aku tidak
pernah mau lagi ketika diajak Gadis berdiskusi dengan teman-temannya.
“hey
Nin, kamu tahu tidak, ini adalah momentum dimana kita belajar berdemokrasi
secara nyata dan langsung. Karena biar bagaimanapun, kampus merupakan sebuah
miniatur masyarakat. Maka prosesi pemilihan president mahasiswa ini menjadi
penting” Gadis masih saja berbicara panjang lebar, ia berbicara proses
demokrasi di tingkatan mahasiswa. Seperti
biasa, aku menempatkan diri sebagai pendengar setianya.
“karena
itu Nin, besok kamu harus mengajak semua teman-teman jurusanmu untuk memilih”.
Nampaknya aku mulai sedikit bisa menangkap arah pembiacaraan Gadis yang sedari
tadi menggebu-gebu ini, nampaknya ada hubungannya dengan pemilihan president
mahasiswa besok dikampus. Namun seperti kataku, aku akan lebih memilih diam dan
menganggap untuk tidak tahu. Maka aku masih saja menyimak Gadis berbicara
panjang-lebar. Sampai pada akhirnya aku benar-benar tahu, yah kali ini aku
benar-benar tahu. Dan ini bukan sebuah sikap sok tahu dariku, karena memang aku
benar-benar tahu. Dan memang benar, arah pembicaraan Gadis mulai tertuju pada
satu kandidat calon president mahasiswa.
“dia
berbeda Nin, dia beda dengan calon-calon lain. Percayalah!!!! Ajak semua teman
yang kamu kenali besok lusa untuk memilihnya” nadanya sangat bersemangat dan
meyakinkan, sembari memegang kedua bahuku dan menggoyang-goyangnya sedikit. Setelah
itu dia berdiri, pamit pergi untuk urusan yang penting katanya. Aku mengangguk
saja sembari tersenyum.
_________________________________________
“saya
berjanji pada kalian, saya Yoga Prasetio akan selalu berpihak pada kepentingan
mahasiswa. Kepentingan mahasiswa adalah segala bagi saya. Hidup mahasiswa!!!
Hidup mahasiswa!!! Hidup perempuan!!!”
Pagi
ini aku diajak Gadis mendengarkan salah satu calon president mahasiswa
berpidato atau semacamnya,aku menurut saja. Aku melihat dari kejauhan, anak
lelaki sedang berbicara penuh semangat diatas podium, rambutnya gondrong,
sedikit berkumis dan berjenggot. Sementara itu, Gadis disebelahku ikut
berteriak ketika lelaki diatas podium mengatakan “hidup mahasiswa!!!”, saat itu
juga Gadis akan mengikuti perkataan lelaki diatas podium itu.
Pagi
ini, beberapa mahasiswa berkumpul disini. Mendengarkan sepertiku, juga ikut
berteriak-teriak seperti Gadis. Suasana panas, selain cuaca juga suasana. Entah
apakah ini benar-benar semangat atau tak ubahnya seperti berita-berita politik
di televisi, “sebuah ambisi”. Namun seperti janjiku, bahwa kalimat tidak tahu
akan selalu ku unggulkan dari pada aku harus melukai beberapa orang dengan
persepsiku.
Lelaki
itupun turun dari podium sambil tidak henti-hentinya terus mengepalkan tangan
kiri dan berteriak-teriak, hidup mahasiswa!!! Hidup mahasiswa!!!. Lalu di ikuti
oleh puluhan mahasiswa lainnya, tidak terkecuali Gadis. Setelah itu, lalu tepuk
tangan menggelegar, semua, yah semuanya bertepuk tangan kecuali aku.
“ayo
Nin” gadis menarik tanganku mendekati lelaki yang baru saja turun dari podium,
dari kejauhan Gadis sudah melambaikan tangannya sambil memanggil-manggil nama
mahasiswa gondrong itu, aku mengekor saja dibelakang Gadis. Beberapa kali Gadis
berhenti dan menyalami mahasiswa lain yang lagi berkerumunan dan kembali
melangkah masih dengan menggandeng tanganku.
“hai
Dis” sapa Yoga, lalu bersalaman dengan Gadis.
Mereka
mulai mengobrol dengan basa-basi saling memuji, lalu Gadis memperkenalkanku
pada Yoga.
“oh
ya kenalin, ini Nindia” ucap Gadis pada Yoga. Aku pun mengulurkan tangan
sembari mengulang namaku,lalu sedikit tersenyum.
Setelah
itu kami bertiga berjalan ke belakang panggung dan melanjutkan obrolan disana. Sebenarnya
lebih tepatnya Gadis dan Yoga, aku hanya mengekor saja dari tadi, kadang-kadang
tersenyum lalu kembali diam mengamati. Dan siapa sangka, aku mahasiswi yang
dikampus kerjanya cuma bolak-balik kok-kampus kini sedang duduk dengan salah
satu calon presiden mahasiswa dikampus ini. Sejenak ada rasa bangga, namun
sejenak muncul prasangka. Ah, dasar prasangka selalu saja tidak membiarkanku
menjadi orang yang berpikiran positif terhadap orang orang lain. Entahlah.
Namun
yang jelas kebosanan mulai menjalar ke seluruh tubuh, akhirnya aku berdiri dan
pamit ke kamar mandi pada Gadis. Ia hanya berpesan jangan lama-lama, lalu aku
menyelonong pergi. Sesampainya di kamar mandi aku hanya sedikit membasahi muka,
berkaca sebentar sekedar membuang bosan lalu kembali pada Gadis dan Yoga
dibelakang podium.
Dan nampaknya
suasan kampus mulai sepi, hanya tinggal beberapa mahasiswa saja yang tampak di
depan podium. Beberapa saling berkelompok, nampaknya obrolan mereka sangat
serius. Seperti Gadis dan Yoga dari tadi yang sampai membuatku bosan. Dan sampai
saat ini seelah aku dari kamar mandi, keduanya juga masih terlihat sangat
serius. Sampai-sampai kedatanganku tidak mereka sadari. Diam-diam aku penasaran
juga dengan pembicaraan mereka, lalu aku sedikit mengendap pelan. Berusaha meniadakan
suara lalu duduk dibelakang mereka.
“ingat
Dis, ini rahasia kita. Hanya aku dan kamu, kalau aku sampai menang, jangankan Cuma
laptop sepeda motor juga aku belikan buatmu”.
Aku berhenti
penasaran, aku berdiri dan pergi. Tidak habis pikir, Gadis adalah sahabatku. Cewek
dengan penampilan jaket dan celana belel, cewek dengan semangat luar biasa
ketika sedang memimpin aksi demonstrasi. Yah, demonstrasi yang katanya membela
kepentingan kita yaitu kepentingan mahasiswa. Namun ternyata, ah betapa ini
yang dimaksud proses pembelajaran berdemokrasi itu. AKU BENCI, AKU BERHENTI
MENJADI SAHABATMU. Aku berlari dan menyibakan tangan Gadis saat berusaha
menahanku, berlari dan berlari. Tentu saja, aku menangis hebat, tanpa lupa aku
juga mengutuk. SEMUANYA.
0 komentar:
Post a Comment