Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

04 July 2014

Ketika Senja Berlalu Tanpa Mata

Aku mendengarnya
Entah, barangkali memang srigala mengaung kala gelap merayap.
Jelaskan, itulah cerita malam

Namun benarkah?
Ini bukan dongeng kawan, ini kehidupan dengan seabrek anggapan serta tafsiran.
Demokrasi katanya, sebuah kebebasan menjadi harga mati.
Mati kau, mati aku, mati kita.
Dan entahlah.

Karena aku juga akhirnya mendengar, kokok ayam yang entah jantan atau
betina. Setidaknya aku masih yakin bahwa itu ayam.

Lagi-lagi masih soal keterjagaan.
Entah berdurasi berapa, kopi demi kopi tertuang dan habis. Lalu
tertuang lagi, habis lagi dan tertuang lagi.

Selalu, cangkir-cangkir beralih fungsi menjadi asbak dari puntung
segala apa. Sudah mirip-mirip tempat pembuangan mayat pembantaian.
Dimatikan begitu saja, lalu ambil yang lain dan kembali dimatikan.

Sampai malam memohon pamit, keterjagaan itu masih ada dan terjadi.
Sampai pagi mengucap salam, keterjagaan itu juga masih terjadi.

Lalu, mentari akan semakin ceria dalam berceloteh. Dan keterjagaan itu
berangsur beringsut. Persis seperti siluman dalam dongeng dan cerita
rakyat yang selama ini berkembang.

Karena inilah kenyataan, pahit senang setidaknya tentang sebuah
kejujuran. Dalam cerita pagi ada kisah tertinggal tentang keterjagaan.
Lalu tenggelam dalam siang, kembali terjaga ketika malam. Senja sudah
biasa dibiarkan berlalu tanpa mata, tenggelam dan itulah sebuah awal.

Sebab akhirnya tetap menjadi misteri dan rahasia.

0 komentar:

Post a Comment