Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

12 April 2013

Politik Memanas, Petani Semakin Tergilas

Hidup engan, namun matipun tak mau. Mungkin itu potret umum sebagian besar subsektor pertanian kita.
Sesuai julukan yang nampaknya terlalu akrab dengan telinga kita, Indonesia sang Agraris yang subur serta makmur. Sebuah julukan yang cukup pantas dan layak khususnya dalam kancah pertanian, tercatat pertanian kita sempat menjadi primadona dalam kemajuan perekonomian, pasalnya sektor ini tercatat pernah menyumbang hingga 70% lebih dari produk domestik bruto dan penciptaan lapangan kerja.

Namun, akibat kesemrawutan yang terjadi serta kurangnya perhatian pemerintah di sektor ini, atau tidak adanya visi jangka panjang pembangunan ekonomi di Negara ini membuat sektor pertanian ini justru semakin terpuruk. Dan peran pertanian dalam ranah pembangunan ekonomi tak lain hanya sebagai pelengkap dari sektor lainnya.

Sementara dalam satu dekade lebih terakhir, sebagian besar subsektor pertanian, pekebunan, peternakan, dan perikanan mengalami kemerosotan kinerja yang signifikan. Dan dalam kondisi ekstrimnya petani mengalami pemiskinan secara dramastis. Ironisnya lagi, angka ketergantungan pada impor pangan dan produk pertanian lain justrumengalami peningkatan tajam.

Seorang pakar hortikultura Indonesia menceritakan bagaimana ia pernah diundang ke Vietnam sekitar pada tahun 1980 dan 1990an untuk mengajar para peneliti Vietnam atau mengajar peneliti Thailand yang datang ke Indonesia pada kisaran tahun 1992 soal tanaman hias. Kini, kedua Negara tersebut sudah menyalip “sang Guru” jauh didepan sana.

Pada abad ke-19, Indonesia merupakan eksportir gula terbesar kedua dunia setelah kuba, kini keadaan justru berbalik tragis. Indonesia malah menjadi importir terbesar kedua dunia. Tidak hanya itu, beras yang dulu swasembada kini harus impor. Hal serupa juga terjadi pada produk pangan lain, seperti: jagung dan kedelai, juga produk hortikultura seperti buah-buahan dan tanaman hias.

Dulu kita bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri, sekarang semua serba import. Peningkatan angka import di Indonesia, bukan hanya meliputi permintaan restaurant atau hotel yang meningkat, melainkan memasuki ranah rumah tangga. Hal ini mengikuti dengan peningkatan supermarket yang ada diindonesia,  yang setiap tahunya terus mengalami perluasan dan peningkatan dibergai daerah. Artinya dengan keadaan demikian secara kajian, juga merupakan penyebab budaya konsumtif. Masyarakat secara tidak sadar telah dinina bobokan oleh keadaan ini, yang berakibat pada peningkatan rasa malas untuk menggali potensi. Segala sesuatu ingin di dapat dengan cara instan. Tentu hal ini cukup berbahaya, sebab banyak kalangan menyebutkan bahwa hal ini sejatinya merupakan sebuah bentuk penjajahan secara halus. Yakni melalui penanaman/merubah cara berfikir dari pekerja keras menjadi malas dan konsumtif.

Selain itu, petani (khususnya petani penggarap) semakin hari juga kian terpojokan. Hal ini diprakarsai oleh banyaknya kasus sengketa lahan pertanian. Dengan kata lain, para petani penggarap semakin hari semakin banyak yang kehilangan pekerjaan. Sebab, mereka hanya mengandalkan tanah sewa/atau tanah milik tuannya. Dalam kajian ekonomi, tentu hal ini merupakan sebuah pemiskinan besar-besaran.



Singkatnya, jaminan kemakmuran rakyat (dalam hal ini petani) semakin merosot tajam. Sementara tanah/lahan pertanian mereka terus saja mengalami perampasan dengan dalih berbagai hal. Sementara dalam tingkatan persidangan sengketa, sering kali para petanilah yang pada akhirnya harus merelakan tanahnya. Sebab gencarnya isu Hukum di Negara kita tentang ketumpulannya ke atas dan ketajamannya ke arah bawah nampaknya di amini oleh fakta lapangan. Lantas, apakah si Agraris hanya sebuah mitos belaka? tentu sang Ibu Pertiwi akan meraung dalam tangisnya yang parau. Jika faktanya kekayaan alam di Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Siapa mereka? adalah yang berkuasa dan pemodal asing.

Dan ironisnya lagi, pemerintah pusat seolah enggan melihat hal ini. Mereka justru asyik saling berkolaborasi antar partai, saling bersorak atas kemenangan partainya. Sibuk dengan menimbun berbagai hal dalam perutnya yang kian hari kian besar.

0 komentar:

Post a Comment