Sejak
tadi Gio hanya duduk dengan kecamuk fikiran yang tak menentu. Benaknya mencoba
menelaah tentang posisi harta, tahta dan cinta dalam kehidupan. Sementara studinya
tak memungkinkan tahun ini bakal rampung. Sedangkan tanggung jawab serta
tuntutan selalu mencoba mengikuti tiap langkahnya. Gio sadar, secara
administrasi kampus, seharusnya memang semester ini dia sudah mulai menyusun
skripsi sebagai tugas akhirnya. Namun ia masih punya beberapa materi yang harus
diambil. Gio memiliki dosa sejarah terhadap perkuliahannya.
Gio
ingin segera merampungkan kewajiban kampusnya, ia tidak ingin mengecewakan
orang-orang yang dicintainya. Orang tuanya, entah sudah berapa kali bertanya ‘kapan
kamu rampungkan kuliahmu le’. Gio tahu, ayahnya sudah terlalu tua untuk
terus-terusan banting tulang. Diapun sebenarnya sudah sangat malu pada dirinya
sendiri. Di usianya yang sudah cukup matang ia masih ngempeng nafkah kepada bapak-ibunya yang renta. Di sisi lain memang
itu kewajiban orang tuanya, namun dalam dirinya tetap ia merasa iba saat
melihat ayahnya yang renta itu mengangkat cangkul dan bermandi keringat.
Selain
itu, ia juga merasa telah membuat kekasihnya mengapung dalam penantian yang tak
pasti. Memang kekasihnya juga baru sedang dalam proses penyusunan skripsi,
namun hal itu bukan karena dosa sejarah selayaknya Gio. Melainkan sebuah unsur
kesengajaan agar nantinya tidak terlalu jauh jarak kelulusan diantara mereka.
Karena itu kekasihnya memilih sembari berusaha mencari kerja dalam menyusun
skripsinya. Betapa ingin Gio segera membahagiakan orang-orang yang sudah banyak
berkorban untuknya itu. Termasuk orang tuanya dan Lestari.
Sering
terbesit dalam benak Gio, untuk melakukan sesuatu yang tak kalah membanggakan dengan
memakai toga. Setidaknya dia bisa sedikit mengintip kesuksesan dalam dirinya
dan meyakinkan orang-orang yang dicintainya itu. Namun sayang, semuanya masih
terbatas dalam fikirannya saja. Bukankah kehidupan hanya bagian dari pementasan
drama, tentang cerita perjalanan manusia yang sesuai narasi Tuhan. Segalanya
merupakan suratan yang tak terbantahkan oleh akal manusia.
***
Bulan
April, merupakan bulan yang akan di isi oleh kampus dengan ritual wisuda. Beberapa
teman Gio ada lagi yang wisuda kali ini, Reza dan Darma. Itu berarti hanya
tinggal beberapa mahasiswa seangkatannya yang belum wisuda. Tentu, kecamuk
fikiran Gio semakin tak menentu. Dalam dirinya ada sedikit perasaan iri untuk
mengenakan toga. Dalam dirinya terbesit penyesalan atas gerak polahnya selama
ini yang tak terlalu pintar melibatkan diri dalam permainan waktu. Namun ia
sadar, kalau ia harus cerdas
menyembunyikan keresahannya itu. Dan ia pun tetap berusaha tersenyum diantara
kegembiraan Reza dan Darma.
“selamat
ya Za. Dan kamu Darma, selamat ya”
Gio
menyalami keduanya satu per satu, kemudian ketiganya saling rangkul hangat. Dan
moment itu pun diabadikan dalam potret sebagai kenang-kenangan yang nantinya
bakal terbingkai rapih di sudut kamar mereka.
“heh,
Gio. Kamu kapan bakalan serius kuliah?” celetuk Reza di tengah-tengah kegembiraan
mereka. Kemudian disusul tawa renyah mereka bertiga dan teman-teman lainnya.
“secepatnya
Za, do’ain aja teman kalian ini supaya segera menyusul kalian”
“pasti
itu!!!”
Ketiga
teman sejawat itu pun larut dalam kegembiraan. Bagi Reza dan Darma, mereka
harus segera bersiap-siap menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Teori-teori yang
selama ini mereka geluti sudah saatnya di aplikasikan dalam realitas kehidupan
yang sejatinya. Sementara Gio, dia akan kembali dengan diskursus fikirannya
yang bakalan semakin carut-marut. Kemudian memantapkan dirinya agar bisa segera
menyusul Reza dan Darma.
Selain
Gio, Lestari juga turut terpaut dalam kegembiraan teman-temannya yang wisuda. Dan
sejujurnya dalam batin Lestari pun sempat terjadi perang hebat, antara berusaha
mengukuhkan harapan kepada Gio atau tidak. Bahwa kehidupan tetap saja melaju
kedepan, boro-boro mau menunggu kesiapan dari yang menjalaninya. Sedangkan Gio,
entah kapan ia siap untuk datang melamarnya. Namun akhirnya, senyum manis tetap
tercipta dari balik bibir Lestari yang ranum itu. Saat kegembiraan
teman-temannya mampu membaur dan merasuk jiwa lembutnya.
Setelah
orang-orang yang dari pagi sudah memenuhi gedung wisuda, kini mulai terlihat
lenggang. Masing-masing yang melakukan prosesi wisuda biasanya akan
mempersiapkan pasukan untuk menjalani ritual selanjutnya. Tasyakuran.
***
Kehidupan
terus melaju dengan semestinya. Gio tak mau kali ini ia terjebak lagi oleh
permainan waktu. Dan kelak akan ada lagi penyesalan yang menyesakan dada.
Sedangkan Lestari, setelah kesana-kemari mencari sebuah pekerjaan akhirnya
mendapatkan pekerjaan juga. Bagi Lestari kini saatnya berupaya untuk adaptasi
dengan lingkungan barunya, lingkungan para pekerja.
Mengingat
kesibukan masing-masing yang cukup menyita waktu. Moment pertemuan keduanya pun
berkurang. Komunikasi berusaha terus di bangun dengan memanfaatkan technologi.
Biar bagaimana pun, Gio tetap percaya bahwa komunikasi merupakan segalanya
dalam sebuah hubungan. Bukankah Cinta
hanya sebuah komitmen dalam menjaga komunikasi yang baik, tanpa kejujuran dalam
komunikasi, pastilah semua bakal hancur berantakan.
Setelah
mandi dan siap-siap, Gio segera meluncur menuju kost Lestari. Kesibukan antara
keduanya hanya memberikan barang satu atau dua kali bertemu dalam seminggu.
Lestari turun dari kamarnya dengan gaya dandannya yang simpel. Lalu sepasang
kekasih itu mampu berdendang dalam kemesraan malam minggu. Menyusuri hiruk
pikuk jalan beraspal, menuju tempat favorit keduanya. Alun-alun.
“bagaimana
kerjaannya ndu” Gio bertanya di sela-sela makannya.
“yah,
masih dalam proses adaptasi lah ay. Semoga aja aku betah” jawab Lestari sembari
menikmati tiap gigitan tempura.
“amin”
Jogja,
memang dikenal seringkali menyuguhkan ide-ide kreatif. Tak terkecuali dalam
model tempat tongkrongan. Hampir disetiap sudut kotanya memiliki daya tarik
tersendiri untuk dijadikkan tempat nokrong. Tak lain oleh Gio dan Lestari.
Setelah puas menikmati beragam kuliner di Alun-alun, kini keduanya beranjak
menuju kali code. Menikmati malam dengan penuh canda-tawa dalam bingkai cinta. Dan
jika sedang begitu, nampaknya segala beban kehidupan sirna dengan mudahnya. Gio
mampu melupakan kecamuk fikirannya, setidaknya untuk sesaat. Begitu pun
Lestari, kerinduannya telah terbayar. Dan perang batinnya sedikit tersisihkan.
Cinta memang dahsyat.
Namun
setelah kehidupan kembali dengan segudang aktivitasnya, semuanya berputar
seperti sediakala. Kehidupan dengan permasalahan yang ada.
Aduh. . .ceritanya sensitif, wisuda.hehe
ReplyDeletetapi tetep, suka-suka.
hemhemmm....hanya sebuah cerita. hahaa
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteahahaaa...itu hanya sebatas cerita kok...
ReplyDelete