Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

14 April 2013

Pelangi, Dalam Sketsa Hitam Putih # 1


Sejak tadi Gio hanya duduk dengan kecamuk fikiran yang tak menentu. Benaknya mencoba menelaah tentang posisi harta, tahta dan cinta dalam kehidupan. Sementara studinya tak memungkinkan tahun ini bakal rampung. Sedangkan tanggung jawab serta tuntutan selalu mencoba mengikuti tiap langkahnya. Gio sadar, secara administrasi kampus, seharusnya memang semester ini dia sudah mulai menyusun skripsi sebagai tugas akhirnya. Namun ia masih punya beberapa materi yang harus diambil. Gio memiliki dosa sejarah terhadap perkuliahannya.

Gio ingin segera merampungkan kewajiban kampusnya, ia tidak ingin mengecewakan orang-orang yang dicintainya. Orang tuanya, entah sudah berapa kali bertanya ‘kapan kamu rampungkan kuliahmu le’. Gio tahu, ayahnya sudah terlalu tua untuk terus-terusan banting tulang. Diapun sebenarnya sudah sangat malu pada dirinya sendiri. Di usianya yang sudah cukup matang ia masih ngempeng nafkah kepada bapak-ibunya yang renta. Di sisi lain memang itu kewajiban orang tuanya, namun dalam dirinya tetap ia merasa iba saat melihat ayahnya yang renta itu mengangkat cangkul dan bermandi keringat.

Selain itu, ia juga merasa telah membuat kekasihnya mengapung dalam penantian yang tak pasti. Memang kekasihnya juga baru sedang dalam proses penyusunan skripsi, namun hal itu bukan karena dosa sejarah selayaknya Gio. Melainkan sebuah unsur kesengajaan agar nantinya tidak terlalu jauh jarak kelulusan diantara mereka. Karena itu kekasihnya memilih sembari berusaha mencari kerja dalam menyusun skripsinya. Betapa ingin Gio segera membahagiakan orang-orang yang sudah banyak berkorban untuknya itu. Termasuk orang tuanya dan Lestari.

Sering terbesit dalam benak Gio, untuk melakukan sesuatu yang tak kalah membanggakan dengan memakai toga. Setidaknya dia bisa sedikit mengintip kesuksesan dalam dirinya dan meyakinkan orang-orang yang dicintainya itu. Namun sayang, semuanya masih terbatas dalam fikirannya saja. Bukankah kehidupan hanya bagian dari pementasan drama, tentang cerita perjalanan manusia yang sesuai narasi Tuhan. Segalanya merupakan suratan yang tak terbantahkan oleh akal manusia.

***

Bulan April, merupakan bulan yang akan di isi oleh kampus dengan ritual wisuda. Beberapa teman Gio ada lagi yang wisuda kali ini, Reza dan Darma. Itu berarti hanya tinggal beberapa mahasiswa seangkatannya yang belum wisuda. Tentu, kecamuk fikiran Gio semakin tak menentu. Dalam dirinya ada sedikit perasaan iri untuk mengenakan toga. Dalam dirinya terbesit penyesalan atas gerak polahnya selama ini yang tak terlalu pintar melibatkan diri dalam permainan waktu. Namun ia sadar, kalau ia harus  cerdas menyembunyikan keresahannya itu. Dan ia pun tetap berusaha tersenyum diantara kegembiraan Reza dan Darma.

“selamat ya Za. Dan kamu Darma, selamat ya”

Gio menyalami keduanya satu per satu, kemudian ketiganya saling rangkul hangat. Dan moment itu pun diabadikan dalam potret sebagai kenang-kenangan yang nantinya bakal terbingkai rapih di sudut kamar mereka.

“heh, Gio. Kamu kapan bakalan serius kuliah?” celetuk Reza di tengah-tengah kegembiraan mereka. Kemudian disusul tawa renyah mereka bertiga dan teman-teman lainnya.

“secepatnya Za, do’ain aja teman kalian ini supaya segera menyusul kalian”

“pasti itu!!!”

Ketiga teman sejawat itu pun larut dalam kegembiraan. Bagi Reza dan Darma, mereka harus segera bersiap-siap menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Teori-teori yang selama ini mereka geluti sudah saatnya di aplikasikan dalam realitas kehidupan yang sejatinya. Sementara Gio, dia akan kembali dengan diskursus fikirannya yang bakalan semakin carut-marut. Kemudian memantapkan dirinya agar bisa segera menyusul Reza dan Darma.

Selain Gio, Lestari juga turut terpaut dalam kegembiraan teman-temannya yang wisuda. Dan sejujurnya dalam batin Lestari pun sempat terjadi perang hebat, antara berusaha mengukuhkan harapan kepada Gio atau tidak. Bahwa kehidupan tetap saja melaju kedepan, boro-boro mau menunggu kesiapan dari yang menjalaninya. Sedangkan Gio, entah kapan ia siap untuk datang melamarnya. Namun akhirnya, senyum manis tetap tercipta dari balik bibir Lestari yang ranum itu. Saat kegembiraan teman-temannya mampu membaur dan merasuk jiwa lembutnya.

Setelah orang-orang yang dari pagi sudah memenuhi gedung wisuda, kini mulai terlihat lenggang. Masing-masing yang melakukan prosesi wisuda biasanya akan mempersiapkan pasukan untuk menjalani ritual selanjutnya. Tasyakuran.

 ***

Kehidupan terus melaju dengan semestinya. Gio tak mau kali ini ia terjebak lagi oleh permainan waktu. Dan kelak akan ada lagi penyesalan yang menyesakan dada. Sedangkan Lestari, setelah kesana-kemari mencari sebuah pekerjaan akhirnya mendapatkan pekerjaan juga. Bagi Lestari kini saatnya berupaya untuk adaptasi dengan lingkungan barunya, lingkungan para pekerja.

Mengingat kesibukan masing-masing yang cukup menyita waktu. Moment pertemuan keduanya pun berkurang. Komunikasi berusaha terus di bangun dengan memanfaatkan technologi. Biar bagaimana pun, Gio tetap percaya bahwa komunikasi merupakan segalanya dalam sebuah hubungan. Bukankah  Cinta hanya sebuah komitmen dalam menjaga komunikasi yang baik, tanpa kejujuran dalam komunikasi, pastilah semua bakal hancur berantakan.

Setelah mandi dan siap-siap, Gio segera meluncur menuju kost Lestari. Kesibukan antara keduanya hanya memberikan barang satu atau dua kali bertemu dalam seminggu. Lestari turun dari kamarnya dengan gaya dandannya yang simpel. Lalu sepasang kekasih itu mampu berdendang dalam kemesraan malam minggu. Menyusuri hiruk pikuk jalan beraspal, menuju tempat favorit keduanya. Alun-alun.

“bagaimana kerjaannya ndu” Gio bertanya di sela-sela makannya.

“yah, masih dalam proses adaptasi lah ay. Semoga aja aku betah” jawab Lestari sembari menikmati tiap gigitan tempura.

“amin”

Jogja, memang dikenal seringkali menyuguhkan ide-ide kreatif. Tak terkecuali dalam model tempat tongkrongan. Hampir disetiap sudut kotanya memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikkan tempat nokrong. Tak lain oleh Gio dan Lestari. Setelah puas menikmati beragam kuliner di Alun-alun, kini keduanya beranjak menuju kali code. Menikmati malam dengan penuh canda-tawa dalam bingkai cinta. Dan jika sedang begitu, nampaknya segala beban kehidupan sirna dengan mudahnya. Gio mampu melupakan kecamuk fikirannya, setidaknya untuk sesaat. Begitu pun Lestari, kerinduannya telah terbayar. Dan perang batinnya sedikit tersisihkan. Cinta memang dahsyat.

Namun setelah kehidupan kembali dengan segudang aktivitasnya, semuanya berputar seperti sediakala. Kehidupan dengan permasalahan yang ada.

===>>> Pelangi, dalam Sketsa Hitam Putih # 2

4 comments:

  1. Aduh. . .ceritanya sensitif, wisuda.hehe
    tapi tetep, suka-suka.

    ReplyDelete
  2. hemhemmm....hanya sebuah cerita. hahaa

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  4. ahahaaa...itu hanya sebatas cerita kok...

    ReplyDelete