[menulis]Malam ini tiba-tiba aku merasa ingin berselancar dalam
duniaku. Dunia yang lama tak ku sentuh, tentang rangkaian pararel abjad yang
seolah lama terhenti oleh dogma-dogma keteraturan berfikir. Entah, apakah ini
sebuah bentuk pemberontakan dalam diri seorang aku terhadap keteraturan
berjalannya waktu. Atau hanya sebatas kebosanan terhadap keteraturan berfikir
yang semakin diarahkan oleh mamkhluk bernama formalitas.
Sementara dalam ranah yang berbeda dalam perbedaan yang
lainnya, aku justru semakin menemukan celah tentang adanya sosok yang berlagak
heroik. Bagaimana tidak, banyak kepala yang kadang memunculkan eksistensi diri
atau mengatasnamakan kelompok tertentu dengan membawa pesan-pesan yang seolah
berindikasi menolong. Sedangkan realita yang sesungguhnya merupakan kepentingan
yang menumpang dalam beberapa kemungkinan terkait pematangan nilai keimanan.
Aku, dalam pengembaraan keakuanku yang kadang aku
sendiri tidak begitu memahaminya. Justru mendapati semakin olengnya pemahaman
mengenai suatu kebebasan, seolah pemaknan kebebasan hanya dialokasikan dalam
hal-hal yang bersifat individualistik. Mereka yang bergaya semau jidatnya
itulah yang justru sering kali menggunakan dalil-dalil kebebasan. Namun, dalam
hal ini norma-norma yang sudah menjadi akar pengekokoh suatu lingkungan justru
dikebiri melalui pembenaran kebebasan itu sendiri.
Memang, dalam kesempatan kehidupan yang menyapaku
telah melalui beberapa dekade perubahan. Tentang kemajuan, kembali mudur, lalu
dianggap menuju kehancuran besar-besaran. Masing-masing kepala telah
memprediksi kapan dan penyebab kehancuran tersebut, tanpa ketinggalan dengan
menganggap bahwa asumsi tersebut layak untuk di imani. Dan pada akhirnya hanya
berujung pada penjaringan sebuah nilai yang bermakna kuantitas. Sementara dalam
pandanganku, sejatinya mereka hanyalah bagian dari penokohan serta skema
perpolitikan.
Lantas, siapa mereka?
Pertanyaan
yang selalu hadir dalam setiap langkah menuju alam mimpi, tentang siapa
mereka? mereka yang merampok habis hasil panen petani, hasil penjualan
peternak, hasil laut nelayan. Siapa mereka? mereka yang sampai setega
dan se-enak-nya begitu. Mereka kah itu?.
Politik, tetap saja tidak punya kepala kata W.S Rendra.
Jadi tak jangan kaget ketika politik tidak dapat menggunakan lajur
berfikir yang pas dengan orang normal. Politik juga tidak punya hati,
Masih kata W.S Rendra, jadi jangan kaget ketika politik tidak pernah
merasakan apa yang dirasakan masyarakat bawah.
Yah,
mereka itulah perampok dengan legalitas. Maling yang berlindung dibalik
keteraturan Hukum itu sendiri. Ironi, mereka yang berteriak maling
merupakan rampok sesungguhnya.
Dalam negeriku yang konon merupakan negeri subur, makmur, sejahtera. Ternyata masih banyak yang lapar,
tak sedikit yang tak mengenal tempat tinggal, tidak sedikit juga yang
harus berjuang mempertahankan apa yang dipunya akibat penggusuran. Lalu,
sobat bagaimana dengan negerimu?.
0 komentar:
Post a Comment