Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

13 May 2013

Melongok Romantisme Rumah Tangga dalam Perspektif Gender

Seperti yang sudah banyak beredar dimasyarakat, mengenai banyaknya kajian-kajian Gender. Bantuknyapun beragam, mulai dari seminar nasional sampai pada diskusi-diskusi kelompok atau komunitas. Secara umum, jelas Gender mengusung sebuah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa menafikan hal yang sifatnya kodrati. Dalam sebuah rumah tangga misalnya, bagi saya Gender dalam rumah tangga sebenarnya merupakan bentuk rill mengenai romantisme. Kenapa bisa begitu?

Romantisme dan Gender


Ingat, kesetaraan yang diusung oleh Gender merupakan kesetaraan yang tidak bersifat kodrati. Atau dengan kata lain, kesetaraan disini yang bersifat universal. Dalam hal ini adalah hal yang sama-sama bisa dilakukan, baik itu oleh kaum laki-laki maupun perempuan dan ingat tanpa menghilangkan asas kodrati. Misalnya saja, ketika perempuan sedang mengandung hal itu jelas merupakan sifat kodrati perempuan untuk mengandung. Sebab mengandung jelas tidak bisa ditukarkan atau dilakukan juga oleh kaum laki-laki. Lalu, dimana bentuk romantisme dari konsep Gender dalam rumah Tangga?.

Seperti contoh diatas, saya masih berbicara ketika dalam sebuah rumah tangga si istri sedang hamil. Guna menjaga kesehatan serta keamanan kandungannya maka biasanya sang istri akan dituntut untuk istrihat total dalam artian aktifitas-aktifitas yang dianggap berat sudah tidak lagi diperbolehkan. Nah, disinilah kemudian Gender menerobos, yakni aktifitas yang biasanya dilakukan oleh sang istri juga bisa dilakukan oleh suami. Misalnya, mengepel, mencuci, dan lain sebagainya. Dengan catatan, semua berangkat dari asa kebutuhan bersama guna menjaga keharmonisan sebuah keluarga. Dan lagi, hal itu jika memang dalam rumah tangga tidak mempunyai pembantu.

Jika sudah begitu, saya yakin hal tersebut dapat meningkatan sebuah romantisme keluarga dengan bumbu yang berbeda. Namun ingat, meskipun demikian juga bukan berarti harus semena-mena. Dalam bahtera keluarga sosok suami seringkali di analogikan sebagai seorang nahkoda yang akan membawa kapalnya kemana berlabuh. Hal itu benar dan saya setuju, namun bukan berarti sang istri hanya berlagak seolah menjadi penumpang kapal saja. Sang istri juga mempunyai tugas, jika sang suami adalah nahkoda kapal maka sang istri adalah navigatornya. Disini jelas, bahwa sebuah keluarga ataupun bahtera rumah tangga bisa berjalan stabil dan istiqomah melalui jalurnya dengan kerja sama yang baik. Kerjasama antara siapa dengan seiapa? Tentu antara nahkoda kapal dengan navigatornya.

Kita bisa lihat dari maraknya kasus perceraian, baik masyarakat umum, artis sampai para pejabat. Tentu hal tersebut menjadi bulan-bulanan media, dan kemudian akan berdampak pada khalayak luas. Kebanyakan alasan perceraian tersebut justru dilandasi 'ketidak cocokan' atau bahkan 'perselingkuhan' hingga faktor ekonomi. Sungguh hal yang lucu bagi pribadi saya.

Pertama, ketidak cocokan harusnya dapat diketahui sejak awal pertemuan bukan pada saat melakukan perjalanan panjang menuju keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Artinya, dalih ketidak cocokan tersebut tidak lain hanya sebuah alasan klasik. Dan pasti, disini terjadi setidaknya komunikasi yang buruk atau adanya tidak saling memahami satu sama lain. Disinilah kemudian Gender coba membedahnya, sebab kesetaraan yang coba diusung merupakan bersifat 'kebersamaan'. Seperti yang saya contohkan di paragraf sebelumnya.

Kedua, perselingkuhan ataupun faktor ekonomi merupakan sebuah hal yang cukup riskan. Namun ada lini berbeda yang disentuh, jika kasus perselingkuhan kerap menyinggung rumah tangga kaum menengah keatas faktor ekonomi lebih pada sebaliknya. Dalam dua konteks ini, kemudian Gender juga mencoba masuk. Kembali lagi pada pemaparan saya sebelumnya, bahwa Gender mengusung konsep kesetaraan yang bersifat universal dan tidak menafikan sifat kodrati. Termasuk faktor ekonomi, sementara perselingkuhan terjadi pasti karena ada komunikasi buruk dalam sistem keluarganya.

Secara umum, sekarang sudah banyak bermunculan pembisnis perempuan atau bahkan anggota legislatif dari kaum perempuan. Hal tersebut jelas merupakan sebuah bentuk dari kesetaraan Gender itu sendiri. Ingat, perempuan mencuci, lelaki juga bisa mencuci. Perempuan identik dengan memasak, sejatinya lelaki juga bisa memasak. Dan masih banyak lagi hal yang sebenarnya bisa dilakukan baik itu oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Bukankah Tuhan telah mengaturnya dan menjadikannya aturan, bahwa kita semua sama dimata-Nya kecuali nilai keimanan.

Harmonis itu indah kawan, sementara perbedaan merupakan salah satu bentuk keindahan itu. Lihat saja pelangi, dari struktur warna yang berbeda justru ia dianggap indah, kemudian semboyan kuno bangsa kita 'bhineka tunggal ika'. So, bagi laki-laki yang masih kerap bersikap tidak adil terhadap perempuan apalagi tidak kekerasan sudahilah kebodohan itu dan raihlah kebersamaan dalam perbedaan yang indah. Juga pada perempuan yang selama ini masih sering bersikap tidak senonoh kepada kaum laki-laki, berhentilah sungguh jika kita bisa saling melengkapi jauh lebih indah.

Perempuan diciptakan sebagai pasangan laki-laki, begitupun laki-laki diciptakan sebagai pasangan perempuan. Jika mengimani bahwa keduanya merupakan sepasang dalam kesatuan, kenapa harus berselisih? Jika berjalan bergandengan jauh lebih besar meminimalisir ketersesatan dari keduanya.

Demikian perspektif Gender dalam ranah keluarga menurut saya. Manusia itu lemah, karena itu butuh berkeluarga, berserikat, bahkan bernegara. Semoga bermanfaat tulisan mengenai Melongok Romantisme Rumah Tangga dalam Perspektif Gender.

3 comments:

  1. Melongok kesini yaaa salam kenal kang ghomi makin kreatif ajee yaaa...
    http://hariannews.org

    ReplyDelete
  2. wee kakange, salam kenal. .nuwun wis mampir punten nek kurang suguhane. .he
    oke sip, meluncur.

    ReplyDelete
  3. wee kakange, salam kenal. .nuwun wis mampir punten nek kurang suguhane. .he
    oke sip, meluncur.

    ReplyDelete