Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

01 May 2013

Manusia dalam Pengaruh Produk



[menulis]Manusia dalam Pengaruh Produk. Dalam peraduan seorang aku yang kian sukar sekedar untuk memahami keakuanku, hingga pada batas rasional stadium akut aku merasa capek yang luar biasa. Kesibukan demi kesibukan yang telah disuguhkan waktu, kini begitu menguras catatan akalku dalam berfikir. Bahkan dalam keadaan yang demikian menggenaskan, waktu masih saja beringas mematahkan semangat hanya karena lantaran upah berwujud rupiah yang tidak seberapa ketimbang harga sekilogram beras.


Bagaimana tidak, kini perbandingan antara upah dan kebutuhan sesuap nasi ibarat bumi dan langit, sebuah pemisahan dalam jarak yang tak lagi terhitung jengkal orang dewasa. Terlebih konsumsi-konsumsi akal manusia yang kian detik kian dipenuhi oleh berbagai produk, jutaan merk. Nampaknya sesuatu yang sempat dicita-citakan leluhur kita, tentang gotong-royong, sebagai bangunan awal untuk menjalin kebersamaan kini telah turut terkubur dalam pemakaman pejuang terdahulu. Hingga kini, sikap antar sesama semakin tak menggambarkan kebersamaan yang dalam kisah remaja (sinetron) dikenal dengan ‘romantis’. Persaiangan tak sehat, saling curiga yang berlebih, bahkan hingga saling iri dengki.


Manusia yang menganggap dirinya lebih dewasa, selalu berfikir bahwa mereka lebih benar ketimbang yang muda. Hal ini tentu cukup kontradiksi dengan budaya musyawarah, seperti yang diajarkan kakek dulu. Dan dalam perjalanan itu semua, aku mulai muak dan bosan. Aku tetap aku manusia jawa yang cukup memahami makna harga-menghargai dan hormat-menghormati, terutama pada mereka manusia yang lebih saya tuakan. Namun bukan berarti harus menurut tentang apa yang dikatakan untuk aku lakukan. Sebab ini bukan zaman perbudakan dan aku jelas menolak jadi budak. Karena keinginanku seperti ikan yang bebas berenang di laut luas, selayaknya burung yang terbang lepas menukik dengan pandangan setajam keris. Bebas.


Dulu, waktu usiaku belum lagi cukup dihitung jari-jari tangan. Aku begitu bangga dan mantap menatap dunia ini, seolah semua serba indah dalam pemaknaan seorang bocah yang bahkan masih mengeja sekedar untuk menyapa ‘Ibu dan Ayah’. Berbeda hampir seribu lima ratus derajat dengan pemuda masa kini yang sebenarnya bergaya selayaknya manusia dewasa. Setidaknya, dari segi fasilitas tidak jauh berbeda. Mulai dari budaya handphone, sepeda motor, bahkan kekasih. Semua serba dini dalam pengenalan bocah-bocah sekarang, dan budaya-budaya itu ternyata sangat berdampak pada perkembangan berfikir mereka. Lebih individual. Lantas, sekolah-sekolah yang pada zaman dahulu adalah barang mewah, kini berubah menjadi sesuatu yang murah dan tidak berharga. Bocah-bocah lebih memilih duduk didepan layar televisi, komputer, ngegame, dan lain sebagainya. Ketimbang harus duduk dikelas mengikuti pelajaran sekolah.

Tidak banyak memang yang berprilaku demikian, namun juga bukan berarti sedikit. Produk-produk yang terus meracuni tiap kepala bocah kian hari kian elok pengemasannya. Semakin mampu menjelma menjadi hal yang seolah dibutuhkan sangat, biarpun sejatinya hanya berlabel keinginan dan gengsi.

Kampungku merupakan kampung dengan penduduk mayoritas petani. Hari-hari yang selalu diisi dengan semangat tak kenal terik mentari ataupun hujan badai. Saat pagi mengabari manusia, orang-orang kampungku sudah terbiasa berbondong-bondong dengan berbagai macam bawaan. Cangkul, sabit, benih, pupuk, dan perlengkapan lain untuk bertahan hidup dengan bertani. Namun sayang, budaya itu juga berlahan meluntur menjadi berkas noda yang semrawut tak teratur. Kaum muda lebih memilih duduk manis sambil cengar-cengir sendiri memegang buah handphone, tanpa memiliki rasa belas untuk turut membantu orang tuanya. Dan ini bukan terjadi pada satu dua orang, namun sudah menduduki peringkat mayoritas dalam kalangan remaja. Mereka justru lebih memilih kebut-kebutan dijalan umum. Bagi mereka, semakin membuat orang-orang bergeleng kepala berarti itu sebuah kesuksesan untuk dikatakan ‘pemberani’, dan itu berarti sebuah kebanggaan yang sangat membahagiakan.


Selain itu, tatanan manusia dengan bangunan logika juga semakin keluar alur. Dan itu berarti juga semakin tak teratur pada aturan main kehidupan bersama. Pesaing berarti musuh, musuh berarti penghalang, dan penghalang harus disingkirkan. Entah dengan cara seperti apa dan bagaimana. Yang pasti musnah. Begitu mungkin asumsi yang dibangun dalam tananan struktur berfikir manusia, atau hanya aku yang kelewat jadul.

Saat malam merangkak pelan menggeser sore dan senja, jalanan kian padat oleh berbagai aktifitas, lampu-lampu merkuri yang seolah berteriak girang saat menyorot bintang iklan terpampang disudut perempatan dengan berbagai produk semakin menyemarakan jalanan, dan juga menutup akses penilaian tentang kesan jalan gelap menyeramkan.

Semua berubah, gedung-gedung menjulang tinggi mengintip punggung langit, kian bermekaran selayaknya jamur merang dimusim hujan. Bukan lain, bahwa itu hasil penebangan hutan, pengurugan sawah, hingga penggusuran rumah-rumah. Semuanya terbentuk atas peran aktif produk-produk berbasis doktrin hedon. Sehingga kini, tragedi over akan data yang dianut akal menjadi suatu virus yang merebah dengan gampangnya. Al-hasil, setiap kepala terisi jutaan ribu merk produk-produk entah apa saja. Membangun paradigma bahwa perempuan cantik harus bersih, ramput lurus, pakaian mini, dan lain sebagainya. Sedangkan manusia jantan adalah mereka yang bertato, pecandu, juara satu dalam bikin onar, dan tentu masih banyak modelnya.


Identifikasi diri nampaknya menjadi bahan kajian dan penelitian yang amat mampu merangsang akal, terbukti hingga kini tentang apa yang aku fikirkan hanya berputar pada usaha untuk memahami siapa aku, yang dalam dunia sewajarnya lebih dikenal dengan sapaan ‘jati diri’. Benarkah itu??aku tidak begitu tahu banyak tentang hal itu, yang jelas hingga waktu menunjuk detik sekarang, aku masih belum mmampu terlepas dari ‘keakuanku’ yang tak menentu.



“jati diri, merupakan perangsang dalam berusaha menuju cita. Jati diri, merupakan wujud penyemangat dalam mimik emosi akal untuk terus berfikir secara keras dan lurus. Karena itu, selan manusia dibekali dengan rasa tak pernah puas juga dibekali akal yang luar biasa berguna”

0 komentar:

Post a Comment