Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

10 November 2014

Media Sosial: Ancaman atau Penopang "Berdemokrasi"

Media Sosial, barangkali juga merupakan sebuah kamunflase kenyataan.
Sejatinya, tidak kemudian semua yang tertera dan terbaca di media
sosial (orang/ kelompok) meski kita telan mentah-mentah. Perlu adanya
penalaran matang juga, terlebih jika hal-hal yang berkaitan sudah
menyinggung soal-menyoal urusan orang lain/ kelompok. Artinya, kita
juga perlu mengkaji dan menelaah dengan fakta-fakta pendukung. Jangan
sampai imbas yang muncul kemudian justru "penyesatan" berpikir tanpa
tahu-menahu dasar dan sebab musababnya.

Dalam paragraf diatas berlaku, apabila dalam menggunakan media sosial
kita berniat menggali informasi dan pengetahuan. Lain cerita jika si
pengguna hanya berniat untuk iseng/ senang-senang semata. Namun bukan
berarti seenaknya menggunakan jejaring sosial tersebut.

Selayaknya dalam kehidupan sehari-hari, media sosial juga memiliki
aturan main yang sama, jangan merugikan pihak-pihak lain. Masih inget
kasus baru-baru ini yang menyeret tukang sate ke ranah hukum karena
mengunggah gambar pak presiden di salah satu media sosial yang sudah
di edit? Nah, itu baru satu contoh kasus. Sementara ada begitu banyak
kasus pengguna media sosial yang di bui.

Namun dilain sisi, dalam hemat pandangan saya media sosial merupakan
angin segar ditengah-tengah masyarakat (yang katanya) demokratis ini.
Mengingat dalam kecarut-marutan bernegara, banyak sekali media-media
yang justru memiliki kepentingan golongan tertentu. Mulai dari alat
kampanye sampai memuat pemberitaan-pemberitaan yang secara fakta
kadang justru terbalik. Artinya, disini keberadaan media sosial
merupakan penyeimbang yang bisa diakses oleh semua kalangan. Bahkan
jangan heran, jika konten-konten yang termuat dalam media sosial
seringkali digunakan sebagai rujukan media konvensional.

Singkatnya, maksud penulis disini ingin menghimbau juga sekaligus
mengingatkan. Bahwa penggunaan media sosial sangatlah berarti dalam
asas bernegara yang demokrasi ini. Namun bukan kemudian menghilangkan
nilai-nilai agama, budaya serta norma berkehidupan dalam penggunaan
media sosial. Untuk itu sebagai insan yang memiliki waktu serta
kesempatan lebih untuk mengakses pengetahuan melalui internet, kita
perlu saling mengingatkan. Bahwa keberadaan media sosial kini juga
serupa sebagai "pilar demokrasi" kita.

Ingat, bahwa mengkritik berbeda dengan membully. Mengingatkan berbeda
dengan menuduh. Pun memberi masukan berbeda dengan menggurui. Mari
gunakan media sosial dengan bijak dan arif. Mari bentengi pribadi
dengan kekuatan manusiawi, agar dikemudian hari kita terdidik menjadi
manusia yang bukan "anti kritik". Melainkan sebagai manusia yang
rendah hati namun kaya pemikiran, ide serta gagasan. Ini bukan hanya
bangsamu sendiri, apalagi bangsaku, sebab inilah Indonesia bangsa
milik semua rakyatnya. Salam. *Selamat Hari Pahlawan*.

0 komentar:

Post a Comment