Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

22 November 2014

Guyub Rukun Minyak dan Air

Pagi sudah bergulir merangkai cerita-cerita, atau barangkali ada juga
melanjutkan cerita yang belum usai. Apapun itu, pagi tetaplah menjadi
sebuah awal baru kehidupan. Seperti halnya menata kembali mimpi-mimpi,
atau merampungkan mimpi-mimpi itu. Semuanya merupakan serangkaian
cerita hidup dari kehidupan. Dan Tuhan tidak akan kehilangan cara
untuk menempa diri kita menjadi pribadi yang lebih kuat.

Karena sejatinya hidup merupakan ajang penempaan diri untuk menjadi
benar-benar dalam esensinya sebagai manusia. Percayalah, itu tidak
semudah playboy menaklukan wanita. Tahu kenapa? Karena hidup bukan
soal takluk, melainkan memahami dan mengerti. Kita mesti tahu menahu
apa saja bekal yang merti bawa, kita mesti mengerti bagaimana
memanusiakan orang lain dalam ranah sosial masyarakat. Bukankah
memberi tidak selalu berbanding dengan sebuah solusi? Maka dari
itulah, toh tidak semua orang disekitar kita itu sama persis dengan
kita, atau mau sefaham dengan kita. Penyeragaman memang ada, tapi
tidak jauh lebih banyak perbedaan yang bergulir ditengah-tengah
kehidupan sosial masyarakat. Percayalah!!!

Ingat, perbedaan antara minyak dengan air bukan?? Keduanya tidak akan
bisa menyatu meskipun bersama dalam satu wadah. Atau istilah orang
jawa "ngumpul ning ora campur" artinya "kumpul tapi tidak campur".
Jadi perbedaan itu mutlak adanya, namun bukan untuk saling
mempengaruhi menjadi sama. Kira-kira seperti minyak dan air dalam satu
wadah itulah seharusnya kita. Meskipun keduanya memiliki sifat yang
sangat berbeda, namun bukan tak mungkin keduanya bisa bersama dalam
satu wadah bukan? Dan untuk bersama tidak harus sama.

Dalam negara kita misalnya, para pendiri bangsa ini sejak dulu selalu
menyuarakan "persatuan dan kesatuan". Dari dua kata ajaib itulah, kita
seharusnya mamapu menjaga "kebhinekaan" bangsa ini dalam
bermasyarakat. Pilpres ya pilpres, pasca itu presiden kita tetap satu,
ataupun pemilihan-pemilihan lainnya. Maka dalam sumpah jabatan para
elit, pasti ada kalimat penegas untuk mendahulukan kepentingan umum
dari pada kepentingan pribadi. Karena mereka (pejabat negara) tidak
lebih dari pelayan rakyatnya.

Ini, bangsa kita, ini tanah air kita, semuanya adalah kita dalam
naungan Merah Putih. Apapun Agamanya, sukunya, tradisinya, adatnya,
kita tetap satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa persatuan yaitu
Indonesia. Agamamu agamamu, agamaku agamaku, namun indonesia bangsa
kita.

Dan pagi ini, sabtu ini aku bukan sedang menjadi orator ulung.
Melainkan sedang berusaha mengurai keresahan hati dan pikiranku
sendiri. Bagaimana tidak, hingga kini bahkan sisa-sisa selisih paham
saat pilpres masih berdampak bahkan tataran masyarakat bawah. Yang
seharusnya menjalani kehidupan dengan "guyub rukun" justru menjadi
selisih tak kunjung rampung. Belum lagi soal penyalah gunaan kekuasaan
golongan mayoritas yang menerkam golongan minoritas. Ah, bukankah kamu
sepakat kita satu nusa? Bukankah kamu juga setuju kita satu bangsa?
Bukankah kamu tak keberatan kita satu bahasa? Indonesia Raya, ibu
pertiwi didiklah anak-anakmu ini menjadi pribadi yang asli.
Salam indonesia raya.
Aku, kamu, dia dan mereka adalah Indonesia jaya.

#SelamatNgopi

0 komentar:

Post a Comment