Belajar Menulis, dokumentasi pemikiran perjalanan hidup.

30 November 2014

Pagi di Kepalaku, Catatan Dibalik Jendela

Seperti dalam lirik sebuah lagu, "aku bangun pagi dan bakar rokok, ku
tendang-tendang ranjangku yang bobrok". Lagu tersebut berjudul "ingin
(beli) tidur" dari SLANK.

Pagi, aku membuka jenedela kamar, membiarkan sinar matahari menimpa
buku catatan usang di pojok meja. Biarlah, barangkali buku itu juga
butuh penghangat seperti halnya kita. Kalau-kalau ia sudah terlampau
kedinginan karena terlalu lama tak terjamah.

Aku masih berdiri, merapat ke dinding dekat jendela. Melihat
orang-orang lereng gunung mencangkul menyiapkan lahan, barangkali
untuk ditanami cabe. Ada juga yang hanya duduk-duduk sembari
mengobrol, aku menduga obrolan mereka seputar harga pupuk yang terus
melejit, sementara hasil panen hampir selalu murah. Juga biaya sekolah
anaknya yang tidak pernah turun tiap catur wulan, selalu naik dan
bertambah biaya ini itu. Dan alamak, ibu-ibu berbondong membawakan
makanan untuk para suaminya yang sedang menanam uang. Aih, indah
bukan?? Dan lihat romantis nyatanya bukan hanya soal membelikan
cokelat atau kembang mawar.

Aku menyandar pada kusen, barangkali terbuat dari kayu sengon.
Beberapa bagian sudah mulai lapuk dimakan usia, catnya terlihat mulai
kusam. Jelas usianya sudah puluhan tahun. Ah jendela, usiamu tua muda
sama saja. Melalui celahmu, sinar matahari dapat masuk menghangatkan
buku catatanku. Melalui celahmu juga, aku melihat kehidupan diluar
sana, tentang mereka, para petani lereng gunung. Dan yang paling
penting, aku tak perlu memutar jauh-jauh untuk sekedar membuang
puntung rokok. Terimakasih jendela.

Ah, pagi seperti itu, dengan kemampuan jendela menyuguhkan banyak
cerita. Betapa indah, betapa otak tidak dibuat membeku oleh
suguhan-suguhan hotel dan apartemen sepuluh atau lima puluh lantai.
Betapa pagi dikepalaku seperti sebuah kehidupan lain, kehidupan yang
hidup dalam kehidupan lain.

Bayang-bayang tak ubahnya seperti hantu yang melayang-layang diantara
kenyataan. Pun pagi itu, jendela itu. Semua yang terlihat hilang
sirna, tidak ada orang-orang yang mencangkul lahan untuk ditanami
cabe. Tidak ada sekumpulan bapak-bapak resah karena biaya pendidikan
anaknya yang terus melejit. Pun ibu-ibu yang dengan sangat anggun
membawakan makanan untuk para suaminya. Semua itu tidak ada, semua itu
hilang sirna. Keromantisan barangkali memang bunga mawar dan cokelat,
sebagaimana dalam kitab-kitab sinetron yang disuguhkan pada kita tiap
hari.

Jendela ini hanya menyuguhkan gedung-gedung tinggi penantang langit.
Aku bahkan tidak mendapati sinar matahari memasuki ruangan ini. Kusen
itu juga sama sekali tak terbuat dari kayu sengon. Dan buku catatan
itu? Kau tanyakan buku catatan itu kawan, haha itu hanya lelucon. Pagi
dikepalaku, jendela dianganku, semua hanya hantu yang melayang-layang
diatas kenyataan. Pagi dikepalaku menyebutnya jendela, kanyataan
dihadapanku menunjukan kalau itu tak ubahnya lobang kecil yang ku
gunakan untuk mengintip. Kalau-kalau ada petugas datang membawa
pentungan siap menggusur dan membawaku.

Pagi dikepalaku, hantu di hadapanku, keduanya membakar kembali luka
lama. Sepontan ruang pengap dipenuhi bau amis, air mata begitu saja
mengucur. Aku rindu kampung halaman, aku ingin pulang, mengecup
telapak kaki ayah dan ibuku. Memohon ampun atas kebohongan yang ku
susun bertahun-tahun, tentang pekerjaanku sebagai orang kantoran.
Tentang kebahagiaanku yang sebenarnya ku kemas dalam kepalaku sendiri.

Aku ingin pulang, aku rindu kampung halaman. Aku bosan berpura-pura
tak kenal dosa, aku muak bersandiwara di depan para lelaki pemburu
kepuasan. Aku ingin meninggalkan abang-abang pegawai kantor kelurahan,
aku ingin meninggalkan abang-abang supir taksi yang anaknya sudah dua.
Aku ingin meninggalkan segala urusan dengan bayang-bayang. Aku ingin
pulang kekampung halaman, menjemput pagi dikepalaku.


Jogjanesia, dua ribu ampat belas.
Catatan seorang pendosa.

0 komentar:

Post a Comment